Dewan Redaksi Media Group Ahmad Punto. Foto: MI/Ebet.
Media Indonesia • 14 November 2025 06:07
BULLYING, atau perundungan, sekali lagi membuktikan 'dirinya' bukanlah perkara sepele. Kalau benar dugaan sementara polisi bahwa salah satu pemicu peledakan di SMAN 72 Jakarta, pekan lalu, ialah perundungan yang dialami siswa yang kini menjadi terduga pelaku, itu sudah cukup menjadi contoh sahih betapa jahatnya efek perundungan.
Terlebih bila yang menjadi korban perundungan itu ialah anak-anak dan praremaja. Dampak dan akibatnya, tanpa kita sadari, sangat dahsyat. Sekali, apalagi kalau berkali-kali, mereka jadi korban perundungan, jejak lukanya akan terus membekas.
Untuk menjelaskan sedahsyat apa dampak perundungan, para psikolog sering melakukan peragaan sederhana ini. Ambil selembar kertas putih yang masih baru dan halus, kemudian sedikit demi sedikit diremas hingga seluruh bagian kertas teremas dan tergulung menyerupai bola.
Lalu, gulungan itu dibuka dan kembalikan ke bentuk semula, yaitu lembaran kertas. Apa hasilnya? Kertas itu memang kembali menjadi lembaran, tetapi ia tak bisa seputih dan semulus mulus seperti sebelum diremas.
Begitulah gambaran perundungan. Di medium peraga kertas, bekas-bekas remasan akan tetap tertinggal. Hampir mustahil menghilangkanya sekalipun kita gosok dengan setrika berkali-kali, misalnya. Sama seperti di kejadian nyata, luka akibat perundungan akan terus membekas dan meninggalkan jejak.
Apalagi jika saluran untuk si korban bisa mengadu mampet. Curahan hati (curhat) tidak didengar. Keluhan tak direspons dengan empati. Pada beberapa kasus, keluarga dan sekolah bahkan sering tak mampu menangkap adanya gejala-gejala perundungan di lingkungan mereka karena menganggap aksi itu sebagai kenakalan anak atau remaja biasa.
Dus, makin mengangalah luka itu yang pada akhirnya akan memunculkan beragam reaksi. Reaksi paling minimal, si anak akan kehilangan kepercayaan diri, minder, dan kemudian memilih untuk menjauh dari pergaulan, menyendiri. Dampak terparahnya, jika luka itu sudah begitu dalam dan terus terakumulasi dalam waktu yang lama, ada dua kemungkinan fatal yang bakal muncul: depresi atau rasa dendam.
Ketika sudah timbul rasa dendam, apa pun bisa terjadi karena dendam yang tak terkelola berjarak sangat dekat dengan kekerasan dan kejahatan. Apa yang terjadi di SMAN 72 Jakarta ialah bukti bahwa kekesalan yang menumpuk dan menggumpal menjadi dendam mampu memunculkan tindakan di luar kendali.
Siswa terduga pelaku ledakan boleh jadi sudah memupuk kesumat cukup lama sebelum mengambil keputusan untuk menumpahkannya pada Jumat (7/11) lalu. Dendam dan rasa tertekannya akhirnya meledak bersama bom rakitannya sendiri yang ia pasang di area masjid sekolah.
Ilustrasi perundungan. Foto: Medcom.id.
Contoh lain terjadi di
Aceh, tepat seminggu sebelum kejadian di Jakarta. Seorang santri di bawah umur diduga membakar asrama putra di sebuah pondok pesantren di Kecamatan Kuta Baro, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, pada 31 Oktober lalu. Pemicunya serupa, santri itu memendam amarah lantaran merasa kesal kerap dirundung teman-temannya.
Jauh sebelum dua peristiwa itu, di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, R, anak berusia 13 tahun siswa kelas VII sebuah SMP negeri di Kecamatan Pringsurat 'tega' meledakkan dan membakar sekolahnya dengan bom molotov yang ia bikin sendiri. Ia melakukan itu juga setelah menumpuk rasa marah gara-gara sering dirundung di sekolah dan merasa tidak mendapat dukungan dari guru-gurunya.
Dari contoh tersebut bisa dibayangkan betapa besar amarah dan dendam anak-anak itu ketika perundungan yang mereka terima terus-menerus terabaikan oleh lingkungan mereka. Saking besarnya dendam itu, mereka bahkan bisa melakukan tindakan yang oleh orang dewasa sekalipun mungkin tidak pernah terpikirkan. Diduga kuat, pengaruh media sosial ikut menjadi faktor yang membuat mereka bisa melakukan hal-hal di luar kewajaran mereka sebagai anak-anak atau remaja.
Saya tidak ingin mengatakan apa yang mereka lakukan itu benar. Bagaimanapun membakar atau meledakkan sekolah, apalagi sampai menimbulkan korban, tetaplah sebuah kekerasan.
Polisi layak memprosesnya, tentu dengan batasan-batasan perlakuan terhadap pelaku yang masih di bawah umur. Ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengatur perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH).
Namun, jangan lupa, pada sisi yang lain, sesungguhnya mereka ialah korban. Mereka mungkin patut dihukum atas tindakan yang mereka lakukan, tapi semestinya mereka juga layak mendapat perlindungan sebagai korban pada kejahatan yang lain. Sekarang mereka memang jadi pelaku kekerasan, tapi sebelumnya, mereka korban perundungan.
Boleh jadi kalau tidak jadi korban perundungan, mereka juga tidak akan membakar atau meledakkan sekolah sendiri. Artinya, hulu persoalan itulah yang mesti diselesaikan.
Kolaborasi negara dan masyarakat kiranya menjadi penting untuk menciptakan ruang-ruang pencegahan sekaligus perlindungan bagi anak-anak dari petaka perundungan. Sedari sekarang. Jangan ditunda-tunda.
Menunda-nunda aksi hanya akan membuat perundungan semakin merajalela. Dampaknya tidak saja berpotensi memunculkan kekerasan seperti yang dilakukan siswa di Jakarta, Aceh Besar, atau Temanggung, tetapi lebih tragis dari itu, seperti bunuh diri atau depresi yang berujung kematian.