Universitas Paramadina Luncurkan Pusat Kajian Asia Pasifik di Tengah Dinamika Global

Acara peluncuran PAPI dan buku Pengantar Studi Hubungan Bilateral Tiongkok dengan Negara-negara di Asia dan Pasifik di kampus Cipayung, Jakarta, Kamis, 2 Oktober 2025. (Universitas Paramadina)

Universitas Paramadina Luncurkan Pusat Kajian Asia Pasifik di Tengah Dinamika Global

Muhammad Reyhansyah • 7 October 2025 18:23

Jakarta: Universitas Paramadina telah meluncurkan Paramadina Asia & Pacific Institute (PAPI) dan buku Pengantar Studi Hubungan Bilateral Tiongkok dengan Negara-negara di Asia dan Pasifik di kampus Cipayung, Jakarta, Kamis, 2 Oktober 2025.

Acara ini menjadi bagian dari konferensi internasional bertajuk Democracy, Prosperity, Sustainability, and Peace: Problems and Prospects, hasil kerja sama antara Universitas Paramadina dan Universitas Pertahanan Republik Indonesia.

Kawasan Asia Pasifik disebut tengah menjadi episentrum geopolitik dunia — diwarnai rivalitas kekuatan besar, pergeseran tatanan perdagangan global, serta meningkatnya ketegangan maritim. Dalam forum tersebut, Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan, Prof. Aleksius Jemadu, menegaskan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia kini menghadapi kombinasi antara ketidakpastian global dan gejolak geopolitik. 

“Indonesia akan tetap menjaga ASEAN sebagai jangkar kebijakan luar negeri, namun di saat yang sama juga memperluas jejaring dengan kekuatan besar lainnya,” ujar Prof. Aleksius. “Presiden mendatang dihadapkan pada tantangan serius, baik eksternal maupun internal, dan bagaimana ia mengelola kebijakan luar negeri akan sangat menentukan arah Indonesia hingga 2029.”

Menurut Prof. Aleksius, dinamika perdagangan internasional yang kini bergeser dari rule-based ke deal-based system menuntut Indonesia untuk memperkuat posisi tawarnya di forum global. Ia menyoroti bahwa ekspor Indonesia ke negara-negara BRICS masih didominasi Tiongkok, sementara Amerika Serikat tetap memainkan peran penting sebagai mitra dagang utama dari kelompok G7. 

“Indonesia membutuhkan strategi keseimbangan agar dapat memanfaatkan peluang dari keduanya,” jelasnya.

Hukum Internasional

Berdasarkan data Lowy Institute 2024, Tiongkok tercatat sebagai mitra dagang terbesar Indonesia dengan porsi impor 24 persen, diikuti Amerika Serikat sebesar 6,9 persen. Bagi Aleksius, angka ini menunjukkan bahwa hubungan ekonomi Indonesia-Tiongkok tengah memasuki fase pendalaman, meski keseimbangan dengan mitra lain tetap harus dijaga.

Selain itu, ia menekankan pentingnya ketahanan pangan dan kemandirian nasional di tengah rivalitas ekonomi global.

“Indonesia harus tetap berpegang pada prinsip hukum internasional dan tidak boleh bergantung penuh pada negara lain dalam pemenuhan kebutuhan pangan,” ujarnya. “Sebagai middle power, kemandirian dan keberanian memainkan diplomasi akan menentukan posisi Indonesia di dunia.”

Sementara itu, Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Pertahanan Republik Indonesia, Prof. Anak Agung Banyu Perwita, menyoroti dimensi keamanan kawasan. Menurutnya, Asia Pasifik kini berada di titik krusial karena meningkatnya aktivitas militer dan kompetisi kekuatan besar, terutama di Laut Tiongkok Selatan.

“Asia Pasifik adalah kawasan yang sangat menarik bagi kekuatan regional maupun eksternal,” kata Prof. Banyu. “Ketika berbicara tentang power politics, isu keamanan maritim dan perlombaan senjata menjadi sangat menonjol karena berkaitan langsung dengan perebutan sumber daya strategis seperti nikel, batu bara, dan energi.”

Ia menambahkan, inisiatif Belt and Road Initiative (BRI) yang digagas Tiongkok merupakan instrumen penting dalam memenangkan kompetisi global. Dalam kerangka realisme politik, lanjutnya, kerja sama internasional sering kali bersifat pragmatis dan dilandasi kepentingan nasional.

“Amerika Serikat dan Tiongkok tidak pernah sepenuhnya percaya satu sama lain. Tiga instrumen utama kebijakan luar negeri Tiongkok—economic statecraft, diplomasi global dan regional, serta modernisasi militer—menjadi pilar bagi strategi globalnya,” papar Prof. Banyu.

Pengaruh Tiongkok di Asia Pasifik

Data Lowy Institute menunjukkan, pengaruh Tiongkok kini mendominasi sebagian besar negara di Asia Pasifik, sedangkan Amerika Serikat hanya memiliki kedekatan kuat dengan tiga dari dua belas negara di kawasan tersebut. Pergeseran ini menandakan adanya perubahan signifikan dalam lanskap kekuatan di Asia Pasifik.

Acara kemudian ditutup dengan peluncuran buku “Pengantar Studi Hubungan Bilateral Tiongkok dengan Negara-negara di Asia dan Pasifik” yang disusun oleh tim dosen, mahasiswa, dan alumni Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina, di bawah penyuntingan Peni Hanggarini. Buku tersebut menjadi publikasi perdana Paramadina Asia & Pacific Institute (PAPI) yang resmi diluncurkan bersamaan.

“Buku ini diharapkan menjadi referensi penting bagi mahasiswa, peneliti, akademisi, dan pembuat kebijakan untuk memahami lebih dalam arah hubungan bilateral dan pengaruh Tiongkok di Asia Pasifik,” ujar Prof. Banyu.

Dalam kesempatan yang sama, Peni Hanggarini menyampaikan bahwa pendirian PAPI menjadi langkah strategis untuk memperkuat riset Indonesia di kawasan Asia dan Pasifik.

“Dengan kehadiran PAPI, kami berharap dapat memberi kontribusi nyata terhadap kajian Asia dan Pasifik. Dalam waktu dekat akan ada lebih banyak diskusi, seminar, dan publikasi buku bertema serupa,” ujarnya.

Peluncuran buku dan peresmian PAPI menegaskan peran Universitas Paramadina dalam mendorong studi kawasan yang lebih relevan dengan tantangan geopolitik masa kini. Di tengah persaingan antara kekuatan besar dunia, kampus Indonesia ini berupaya menempatkan diri sebagai ruang refleksi akademik sekaligus jembatan bagi dialog strategis di Asia Pasifik.

Baca juga:  Wamenlu RI Dorong Penguatan Kemitraan dengan Negara-Negara Pasifik

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Willy Haryono)