Ilustrasi. Media Indonesia.
TERUS menempa profesionalisme diri merupakan sebuah keniscayaan bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sebagai benteng penjaga kedaulatan negara yang lahir dari rahim perjuangan rakyat, sudah semestinya TNI secara konsisten meningkatkan kapasitas, profesionalitas, dan netralitas. Semua itu semata demi memenuhi kehendak rakyat.
Kini, pilar utama pertahanan negara itu telah genap berusia delapan dekade. Sebuah usia yang sangat matang dengan perjalanan yang amat panjang dan penuh dinamika. Namun, kematangan bukan berarti akhir perjalanan. Kedewasaan usia bukan berarti kemandekan.
Sebaliknya, TNI mesti terus mengembangkan, membangun, dan menempa diri untuk dapat makin memberikan kontribusi penting bagi Republik ini, utamanya di tengah siklus perkembangan zaman yang semakin cepat saat ini. TNI secara kontinu harus bertransformasi agar kekuatan yang mereka miliki tak menjadi usang dan mudah tergilas zaman.
Maka, kiranya sangat tepat apa yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam amanatnya pada perayaan HUT ke-80 TNI di lapangan Silang Monas, Jakarta, kemarin. Presiden menyebut TNI sebagai tulang punggung pertahanan negara sekaligus pelindung dan penjaga kedaulatan negara harus bisa terus berkembang, berlatih, dan belajar.
Prabowo mewanti-wanti agar TNI tidak boleh lengah dan ketinggalan dengan beragam situasi yang terjadi, baik domestik maupun global. Ia meminta TNI terus menyiapkan diri menghadapi berbagai kemungkinan, termasuk menggembleng diri dan mengikuti perkembangan zaman.
"Saya perintahkan Panglima TNI, kepala staf, kaji terus perkembangan teknologi dan sains, kaji terus organisasi, bila perlu organisasi yang usang diganti dengan organisasi yang tepat. Untuk kepentingan bangsa Indonesia," kata Presiden.
Sesungguhnya, untuk urusan kekuatan, tidak ada yang meragukan TNI. Bahkan di percaturan global pun kekuatan TNI sangat diakui. Dalam laporan Global Firepower 2025, militer Indonesia berada di peringkat ke-13 kekuatan militer dunia dengan skor power index 0,2557. Itu menjadikan Indonesia negara dengan militer terkuat di Asia Tenggara.
Namun, bukan semata kekuatan itu yang menjadi harapan publik. Masyarakat juga amat menginginkan TNI tetap mampu menjejak bumi. Artinya, dengan segala kekuatan yang dimiliki saat ini dan di masa mendatang, TNI tak boleh lupa bahwa mereka adalah institusi yang lahir dan dibesarkan oleh rakyat.
Dengan kesadaran itu, komitmen TNI tidak boleh berkurang sedikit pun untuk mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan rakyat di atas segala kepentingan yang lain. Apalagi konstitusi juga sudah secara tegas menyatakan TNI sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Bukan menjadi pelindung kepentingan sekelompok atau segelintir orang.
Kita juga mesti tekankan bahwa TNI mutlak untuk tunduk pada supremasi sipil dan terbebas dari praktik kekerasan terhadap warga sipil. Hal itu penting karena belakangan ini, berbarengan dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU No 34/2004 tentang TNI, muncul kekhawatiran dari masyarakat sipil bahwa ada upaya untuk memperluas kembali kewenangan TNI ke ranah sipil.
Harapan publik akan profesionalisme TNI sejatinya bukan sekadar mereka dapat terus berkembang dan bertransformasi mengikuti perkembangan zaman. TNI juga hendaknya semakin memahami di sisi mana kaki mereka harus ditempatkan. Sudah semestinya kaki mereka ditempatkan secara penuh di ranah militer, bukan di ranah sipil.
Terlalu jauh mencampuri atau melibatkan diri dalam urusan sipil hanya akan menggerus profesionalisme TNI. Pada ujungnya, jika syahwat memcampuri urusan sipil dan politik tak bisa direm, itu tidak hanya akan mengikis kepercayaan rakyat, tapi juga mengganggu stabilitas demokrasi.
Rakyat masih punya harapan besar terhadap TNI di tengah menipisnya kepercayaan mereka terhadap lembaga sipil lantaran terjerat isu korupsi, konflik politik, dan sebagainya. Karena itu, kita tidak menginginkan sang penjaga, pelindung pertahanan dan kedaulatan negara ini juga ikut kehilangan kepercayaan publik gara-gara tidak kuat menahan godaan untuk mencampuri urusan sipil.