Gagasan Dedi Mulyadi Terkait Upah Sektoral Disambut Baik

(Ilustrasi Bantuan Subsidi Upah/BSU. Foto: Medcom.id)

Gagasan Dedi Mulyadi Terkait Upah Sektoral Disambut Baik

Media Indonesia • 12 August 2025 20:39

Bandung: Gagasan upah sektoral yang disampaikan Gubernur Jawa Barat (Jabar), Dedi Mulyadi, disambut baik oleh Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Jabar. SPSI menilai langkah ini bisa menghilangkan disparitas upah di wilayah Jabar.

Ketua SPSI Jabar, Roy Jinto Ferianto, menyatakan buruh di perusahaan-perusahaan dengan jenis industri yang sama bisa menerima nilai upah yang sama. Kendati demikian Roy menyoroti persoalan upah di Jabar pada hari ini, disparitas upah sudah terlalu jauh antar industri di daerah satu dengan yang lainnya.

“Ambil contoh di Jabar antara tertinggi Kota Bekasi yang sudah di angka Rp5 juta lebih dan yang terendah yaitu Kota Banjar di angka Rp2 juta. Maka kalau kita berbicara industri sejenis, misalkan, garmen di Bekasi menerima upah Rp5 juta lebih, garmen di Banjar menerima upah hari ini Rp2 jutaan,” kata Roy, Selasa, 12 Agustus 2025.
 

Baca: 4,5 Juta Pekerja Sudah Terima Bantuan Subsidi Upah
 
Roy mengingatkan rencana penerapan upah sektoral di Indonesia harus dilakukan dengan kajian yang sangat komprehensif. Dia menilai kebijakan yang bertujuan menyesuaikan standar upah berdasarkan sektor industri ini bisa menjadi solusi.

Namun hal itu berisiko memicu resistensi jika tidak mempertimbangkan disparitas upah antar wilayah yang sudah terlanjur lebar.

“Jika mengambil patokan dari yang tertinggi, misalnya Rp 5 juta, tentu buruh setuju. Tapi bagaimana nasib mereka yang sudah menerima di atas Rp 5 juta? Apakah harus turun atau tidak naik dulu sampai yang terendah menyusul? Itu kan jadi masalah,” jelas Roy.

Menurut Roy persoalan paling rumit ada pada penentuan dasar upah sektoral, apakah menggunakan standar upah minimum tertinggi atau terendah, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Perbedaan upah di Jabar sendiri sudah mencolok, Kota Bekasi mencatat upah minimum di atas Rp5 juta, sedangkan beberapa daerah lain masih di kisaran Rp 2 juta.

“Kalau sektor otomotif atau garmen nasional mengambil patokan upah dari Jabar yang tinggi, pengusaha di Jawa Tengah (Jateng) tentu keberatan untuk langsung naik dari Rp 2 juta menjadi Rp 5 juta. Sebaliknya, jika patokannya diambil dari upah terendah seperti daerah di Brebes yang hanya Rp 2 juta sekian, buruh di daerah yang sudah menerima Rp 5 juta, pasti menolak karena berarti harus turun,” ungkap Roy.

Roy menilai secara konsep, upah sektoral seharusnya diterapkan sejak awal ketika perbedaan upah antar wilayah masih tipis. Kini, dengan jarak yang terlalu jauh, penerapannya harus hati-hati agar tidak merugikan buruh maupun pengusaha.

Roy juga menyoroti bahwa kebijakan pengupahan saat ini sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah provinsi hanya bertugas menetapkan sesuai formula yang sudah ditentukan, misalnya besaran kenaikan upah minimum.

“Kalau pusat menetapkan kenaikan 8 persen untuk semua wilayah, gubernur sebenarnya bisa mengatur kebijakan tambahan untuk mengurangi kesenjangan. Misalnya, daerah yang sudah tinggi seperti Bekasi cukup naik 8 persen, tapi daerah yang masih Rp 2–3 juta dinaikkan 10–15 persen. Ini sah-sah saja dan akan membantu mempersempit jarak dalam beberapa tahun ke depan,” ujar Roy.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Deny Irwanto)