M Ilham Ramadhan Avisena • 8 July 2025 20:42
Jakarta: Gagalnya negosiasi Indonesia dengan Amerika Serikat untuk mencegah tarif 32 persen semestinya dipandang sebagai peringatan serius bagi pemerintah.
Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menilai itu merefleksikan lemahnya arah kebijakan luar negeri dan ekonomi Indonesia, serta absennya koordinasi strategis lintas kementerian yang berdampak langsung terhadap kepercayaan pasar dan posisi tawar negara.
Tim negosiasi Indonesia yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto membawa berbagai tawaran besar, mulai dari LNG, LPG, minyak mentah, gandum, hingga pesawat Boeing. Namun, pemerintah AS tetap menjatuhkan tarif dengan angka yang cukup signifikan.
CELIOS menilai keputusan Washington cenderung dipengaruhi oleh pertimbangan geopolitik daripada hanya sekadar transaksi dagang. Afiliasi Indonesia dalam BRICS dan sikap tegas terhadap ekspor mineral menjadi faktor yang secara politis dari kebijakan AS terhadap Indonesia.
Sayangnya, strategi negosiasi yang dibangun terlalu bertumpu pada pembukaan kran impor produk migas AS secara berlebihan hingga USD15,5 miliar setara Rp259,5 triliun jadi ancaman bagi defisit sektor migas jangka panjang. Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira menyampaikan, kegagalan tersebut seharusnya menjadi momentum bagi Presiden Prabowo untuk mengevaluasi komposisi kabinetnya.
"Jika Indonesia ingin memperkuat posisi globalnya, perombakan kabinet adalah langkah yang tidak bisa ditunda. Menteri Airlangga Hartarto jelas gagal dalam merancang strategi ekonomi luar negeri yang efektif. Menteri Keuangan Sri Mulyani, meskipun memiliki pandangan teknokratik yang tajam, tidak lagi cukup didengar dalam pengambilan keputusan strategis. Sementara Menteri Luar Negeri Sugiono tampak hanya menjalankan fungsi simbolik, bukan diplomatik yang substantif," ujarnya seperti dikutip dari siaran pers, Selasa, 8 Juli 2025.
CELIOS mendesak agar Presiden Prabowo melakukan perombakan kabinet berdasarkan kompetensi dan ketegasan arah kebijakan. Koordinasi ekonomi memerlukan pemimpin yang memahami lanskap perdagangan global. Diplomasi luar negeri perlu dijalankan oleh profesional yang bisa memperkuat posisi Indonesia di tengah ketegangan geopolitik internasional.
"Ini bukan sekadar reshuffle, tapi penyelarasan ulang arah pemerintahan. Jika kabinet tetap diisi oleh figur-figur yang tidak mampu menjawab tantangan global, Indonesia akan semakin tertinggal dan kehilangan momentum," tambah Bhima.
Baca juga:
Kena Tarif Trump 32%, Negosiasi Indonesia Gagal Total? |