Personel Brimob Polda Metro Jaya dan TNI-AL berjaga di depan SMAN 72 Jakarta, usai insiden ledakan di sekolah tersebut, Jumat (7/11/2025). Foto: MI/Usman Iskandar
Farhan Zhuhri • 8 November 2025 09:26
Jakarta: Pengamat terorisme dari The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya, meminta publik tidak terburu-buru menyimpulkan peristiwa ledakan di SMAN 72 Jakarta Utara sebagai aksi terorisme.
Ia menilai, kecenderungan publik mengaitkan setiap ledakan dengan teror justru dapat menyesatkan analisis motif sebenarnya.
"Kita harus hati-hati, jangan sampai jumping conclusion. Terlalu jauh kalau langsung dikaitkan dengan jaringan terorisme. Harus dilihat dulu motifnya,” ujar Harits saat dihubungi, Sabtu, 8 November 2025.
Menurut Harits, dari sejumlah indikasi yang beredar, termasuk dugaan bahwa pelaku merupakan korban perundungan (bullying), peristiwa itu lebih mengarah pada aksi balas dendam personal ketimbang serangan yang terencana oleh jaringan ekstrem.
"Kalau kita bangun analogi dari kasus bom di Mal Alam Sutera dulu, pelakunya juga bukan dari jaringan teror. Motifnya soal dendam dan tekanan pribadi. Begitu juga di kasus SMAN 72 ini, pelaku bisa jadi ingin menciptakan cerita besar agar tidak dianggap lemah,” jelasnya.

Lokasi ledakan di Masjid SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara telah diberi garis polisi pada Jumat, 7 November 2025. Foto: Metro TV/Yurike
Ia menambahkan, generasi muda saat ini sangat intens mengakses informasi ekstrem melalui internet, sehingga mudah terinspirasi oleh simbol-simbol kekerasan tanpa memahami konteks ideologinya.
"Anak-anak mudah terinspirasi dari berbagai sumber di internet, bahkan dari konten ekstrem seperti kasus ultra-Nazi. Tapi itu bukan berarti mereka otomatis terpapar ideologi terorisme. Pengaruhnya lebih ke arah pembentukan persepsi kekuatan diri,” kata Harits.
Ia menegaskan, indikasi terorisme selalu mengandung motif ideologis dan politik yang jelas, bukan tindakan spontan karena masalah pribadi.
"Kalau bicara terorisme, ada motif ideologi dan politik di baliknya. Bukan karena perundungan atau dendam pribadi. Jadi, jangan semua aksi kekerasan langsung dibingkai sebagai teror,” tutupnya.