Media Indonesia • 5 November 2025 06:19
OPERASI tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin, 3 November 2025, malam, terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid menambah panjang daftar kepala daerah yang terjerat kasus rasuah.
Ironisnya, ini bukan peristiwa pertama bagi provinsi tersebut. Abdul Wahid tercatat sebagai Gubernur Riau keempat yang ditangkap KPK. Lebih mencengangkan lagi, sepanjang tahun ini saja, lembaga antirasuah sudah enam kali melakukan OTT terhadap kepala daerah.
Kalau ditarik lebih ke belakang, berdasarkan data KPK, sebelum Wahid sudah ada 30 gubernur serta 171 bupati/wali kota dan wakilnya yang terjerat kasus korupsi sejak lembaga ini berdiri pada 2004.
Fenomena itu menggambarkan bahwa praktik korupsi di tubuh pemerintahan daerah belum menunjukkan tanda-tanda surut. Seolah-olah pendidikan antikorupsi, penandatanganan pakta integritas, hingga berbagai program penguatan moralitas birokrasi hanya menjadi seremonial belaka.
Pemimpin daerah periode sekarang bahkan sudah digembleng melalui retret. Salah satu materinya tentu saja soal penguatan antikorupsi. Namun, semua itu seperti masuk kuping kanan, lenyap tak berbekas keluar lewat kuping kiri. Koruptor seakan kehilangan rasa takut dan urat malu. Jabatan publik yang semestinya menjadi amanah justru dijadikan alat memperkaya diri dan kelompok.
Masalahnya tidak semata pada individu yang tergoda dan tamak terhadap kekuasaan, tetapi juga pada sistem yang gagal membentuk benteng moral. Baik pencegahan maupun penindakan korupsi di negeri ini masih dibayangi kegalalan sistemik.
Hukuman bagi koruptor masih terlalu lembek untuk menimbulkan efek jera. Bahkan korupsi dan suap marak tejadi di lembaga penegak hukum itu sendiri. Koruptor bisa dengan mudah dapat vonis ringan dengan menyuap hakim.
Vonis ringan, remisi berlapis, dan kemudahan fasilitas bagi napi kasus korupsi hanya mempertebal kesan bahwa mencuri uang rakyat bukanlah kejahatan yang memalukan. Selama konsekuensinya ringan, korupsi akan terus dianggap sebagai risiko kecil dalam permainan besar kekuasaan.
Di sisi lain, maraknya korupsi kepala daerah juga menelanjangi kegagalan partai politik dalam menjalankan fungsi kaderisasi. Parpol seharusnya menjadi ruang pembibitan pemimpin yang berintegritas, bukan sekadar kendaraan elektoral bagi mereka yang memiliki modal besar.
Ketika proses rekrutmen lebih menekankan pada kemampuan finansial ketimbang rekam jejak dan moralitas, hasilnya ialah pejabat publik yang rapuh di hadapan godaan uang dan kekuasaan. Jabatan seakan dipandang sebagai komoditas yang bisa menghasilkan cuan lebih besar daripada modal politiknya.
Kasus demi kasus seperti ini seharusnya menjadi peringatan keras bahwa perang melawan korupsi tidak cukup hanya dengan penindakan. Diperlukan reformasi menyeluruh, penegakan hukum yang konsisten, pemberian hukuman yang setimpal, serta sistem politik yang menempatkan integritas sebagai prasyarat utama kepemimpinan.
OTT KPK/Ilustrasi Media Indonesia
Tanpa itu semua, bangsa ini hanya akan terus menyaksikan siklus yang sama. Pemimpin datang dan pergi, tetapi korupsi tetap lestari. Kini, saatnya bangsa ini menuntut lebih dari sekadar janji antikorupsi.
Negeri ini memerlukan keberanian moral dari seluruh elemen, aparat penegak hukum yang tegas, partai politik yang berbenah, dan masyarakat yang tak lagi permisif terhadap praktik busuk kekuasaan. Jika tidak, OTT demi OTT hanya akan menjadi tontonan rutin yang menyakitkan, sekaligus menegaskan bahwa rasa malu dan takut di negeri ini memang telah lama punah.