Jaksa Agung ST Burhanuddin. Foto: Metrotvnews.com/Siti Yona Hukmana.
Siti Yona Hukmana • 21 August 2025 15:46
Jakarta: Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin memastikan pihaknya akan memaksimalkan penyitaan aset dan uang terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Optimalisasi pendekatan follow the aset dan follow the money ini akan dilakukan melalui pendekatan Deferred Prosecution Agreement (DPA).
Jaksa Agung menyampaikan, DPA itu ialah kesepakatan penundaan penuntutan. Mekanisme ini, merupakan hal baru yang diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Namun, penerapan DPA ini hanya berlaku bagi terdakwa korporasi.
"Dalam kaitannya dengan pembaharuan kebijakan hukum pidana nasional, salah satunya melalui penerapan pendekatan follow the aset dan follow the money melalui DPA, diproyeksikan dapat memberikan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum dalam mencapai tujuannya," kata Burhanudin dalam paparannya pada acara Seminar Nasional di Jakarta, Kamis, 21 Agustus 2025.
Burhanuddin mengatakan, dalam transformasi tata kelola penegakan hukum yang berkualitas, harus dibarengi dengan dukungan sistem penuntutan yang mengedepankan pencegahan dan pengamanan terhadap aset negara. Khususnya dengan pendekatan follow the aset dan follow the money dengan mekanisme DPA.
"Yang transparan dan akuntabel dengan berlandaskan pendekatan restoratif, korektif dan rehabilitatif," ungkap Burhanuddin.
Burhanuddin menerangkan, DPA merupakan kewenangan yang ada pada Jaksa, selaku pengendali perkara pidana untuk melakukan penuntutan. Namun, kesepakatan untuk tidak melakukan penuntutan dengan berbagai syarat dan kriteria tertentu.
Konsep kesepakatan penundaan penuntutan dalam perkara pidana ini, kata Jaksa Agung, telah lazim digunakan pada sejumlah negara penganut sistem hukum
common law. Tujuannya, tidak lain adalah menggali potensi pendapatan negara dari kasus kejahatan korporasi tertentu.
Hal ini, dikarenakan kejahatan korporasi dan bisnis tidak hanya merupakan pelanggaran hukum semata. Tetapi, acap kali bersentuhan dengan aspek hukum administrasi dan keperdataan.
"Dengan demikian, penerapan DPA pada negara dengan corak Eropa Kontinental melalui paradigma optimalisasi pendekatan
follow the aset dan
follow the money, menjadi relevan dalam upaya memaksimalkan pemulihan kerugian yang timbul akibat terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi," ungkap Burhanuddin.
Lebih lanjut, Burhanuddin menyebut penerapan DPA merujuk pada asas proporsionalitas dalam sistem peradilan pidana. Asas proporsionalitas itu bermakna bahwa, dalam penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana, hendaknya dilandaskan pada keseimbangan dan kepentingan seluruh pihak terkait, baik negara, pelaku, maupun korban, dan masyarakat.
Jaksa Agung menuturkan, asas oportunitas memberikan hak prerogatif kepada Jaksa Agung untuk melanjutkan atau menghentikan jalannya proses penuntutan. Selanjutnya, merujuk pada peran Kejaksaan pada proses peradilan pidana khususnya di bidang penuntutan, membuka ruang untuk penerapan konsep DPA oleh Jaksa dalam kerangka hukum di Indonesia.
Apalagi, DPA masuk dalam pengaturan draf RKUHAP nasional, sebagai kesepakatan penundaan penuntutan yang merupakan mekanisme hukum bagi penuntut umum untuk menunda penuntutan terhadap terdakwa yang pelakunya korporasi. Namun, aturan dalam RKUHAP tersebut belum komprehensif, karena belum dilengkapi dengan pengaturan teknis pelaksanaan serta implikasi hukum lainnya yang kemungkinan muncul dalam pelaksanaannya.
Maka itu, kata Jaksa Agung, penerapan DPA harus memperhatikan implikasinya terhadap masyarakat. Begitu pula interpretasi terhadap DPA harus dilakukan secara cermat, untuk memastikan tindakan yang diberikan kepada pelaku sepadan dengan pelanggaran yang dilakukan.
Burhanuddin menyebut DPA juga perlu dilaksanakan melalui pendekatan yang lebih terbuka, akuntabel, dan transparan. Sehingga, akan berimplikasi terhadap kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di sektor korporasi.
Burhanuddin menekankan, pengaturan DPA sebagai salah satu bagian pembaharuan sistem peradilan pidana yang modern dan berkeadilan, bukan sekadar proses legislasi biasa. Melainkan, momentum penting dalam sejarah reformasi sistem peradilan di Indonesia menuju masa depan penegakan hukum pidana nasional yang cerah.
"Pembaharuan hukum acara pidana ini bukanlah tentang melemahkan hukum, melainkan mempertajamnya. Ini adalah tentang memastikan bahwa penegakan hukum pidana tidak hanya menghukum, tetapi juga memulihkan, memperbaiki, dan pada akhirnya membangun budaya hukum yang lebih baik bagi masyarakat, bangsa dan negara," ucap Burhanuddin.
Penerapan sistem DPA terhadap terdakwa korporasi ini disampaikan Jaksa Agung dalam Seminar Nasional dalam rangka peringatan Hari Lahir Kejaksaan Republik Indonesia ke-80 Tahun 2025 di Yayasan Pesantren Al Azhar, Jakarta Selatan, Kamis pagi. Jaksa Agung berharap pemateri dan peserta seminar dari pakar hukum dan para praktisi, dapat memberikan rekomendasi kebijakan terkait konsep DPA.
Seperti, mengidentifikasi korporasi sebagai subjek delik yang akan dikenakan DPA dengan berbagai bentuk dan turunannya; jenis delik beserta indikator delik yang dapat dikenakan DPA; business process pelaksanaan DPA oleh Jaksa. Kemudian, kedudukan lembaga pengadilan terhadap pelaksanaan DPA, dalam kapasitasnya sebagai lembaga yang melakukan penilaian dan menentukan validitas atas kesepakatan yang telah dibuat, sebagaimana yang diterapkan di beberapa negara.
Selanjutnya, optimalisasi pendekatan Follow The Asset dan Follow The Money melalui DPA; implikasi hukum terlaksana atau tidaknya kesepakatan DPA dalam proses penyelesaian perkara pidana; dan bentuk mitigasi potensi penyalahgunaan serta model pengawasannya.
Adapun, dalam kegiatan seminar ini hadir Ketua Pembina Yayasan Pesantren Islam Al Azhar, Jimly Asshiddiqie. Wakil Menteri Hukum Eddy Omar Sharif Hiariej; Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, Prim Haryadi; Akademisi Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad; Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Febby Mutiara Nelson.
Kemudian hadir pula, Direktur Penuntutan KPK beserta jajarannya; Kepala Biro Hukum Kementerian Investasi dan hilirisasi beserta jajarannya; Kepala Biro Hukum BPKP beserta jajarannya; Plt. Wakil Jaksa Agung sekaligus Jampidum, Asep N. Mulyana; Para Jaksa Agung Muda, Para Kepala Badan, dan Para Staf Ahli Jaksa Agung Republik Indonesia; Para Pejabat Eselon II dan III di Lingkungan Kejaksaan Agung; Para Kepala Kejaksaan Tinggi beserta jajarannya di seluruh Indonesia;
Bahkan, para Kepala Kejaksaan Negeri atau Cabang Kejaksaan Negeri beserta jajaran di seluruh Indonesia; Para Akademisi Perguruan Tinggi; Para Perwakilan Advokat, Badan Usaha, dan Koalisi Masyarakat Sipil, serta undangan lainnya hadir secara daring.