Narendra Modi. (EPA-EFE/Prabhat Kumar Verma)
Jakarta: Rabu, 7 Mei 2025, India resmi meluncurkan serangan militer bernama "Operasi Sindoor" terhadap sembilan lokasi yang diyakini sebagai kamp teroris di Pakistan dan Pakistan-Occupied Kashmir (PoK). Operasi ini merupakan respons atas serangan di Pahalgam, Kashmir, pada 22 April 2025, yang menewaskan 26 warga sipil, sebagian besar adalah turis pria.
Nama "Operasi Sindoor" dipilih langsung oleh Perdana Menteri (PM) Narendra Modi, sebagaimana dilaporkan oleh PTI dan Hindustan Times, sebagai bentuk penghormatan kepada para janda korban. Pemilihan nama ini dianggap sarat makna emosional dan nasional, karena sindoor (vermilion merah) adalah simbol pernikahan dalam tradisi Hindu.
Gambar para istri korban yang duduk berduka masih mengenakan sindoor menyebar luas di media sosial dan menjadi representasi tragedi nasional.
Lantas siapa Narendra Modi? Pemimpin India yang telah menduduki jabatan PM dari tahun 2014? Berikut profil lengkap Narendra Modi.
Latar Belakang Narendra Modi
Narendra Damodardas Modi lahir pada 17 September 1950 di Vadnagar, Gujarat, India, dari keluarga kelas pekerja beretnis OBC (Other Backward Class). Sejak kecil, ia membantu ayahnya menjual teh di stasiun kereta Vadnagar.
Sebagai remaja, ia tergabung dalam National Cadet Corps dan dikenal aktif dalam kegiatan teater serta debat di sekolah. Ia menyelesaikan pendidikan menengah atas pada 1967. Pada 1978, Modi memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik dari School of Open Learning di Universitas Delhi, dan pada 1983 meraih gelar Magister di bidang yang sama dari Universitas Gujarat melalui pendidikan jarak jauh.
Meski sempat ada kontroversi mengenai keaslian ijazahnya, kedua gelar tersebut tercatat secara resmi.
Ketertarikannya pada dunia organisasi dimulai sejak bergabung dengan Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) pada usia delapan tahun. Modi menjadi pracharak (aktivis penuh waktu) RSS pada 1971, dan kemudian ditugaskan ke Partai Bharatiya Janata (BJP) pada 1985. Ia naik cepat dalam struktur partai hingga menjadi Ketua Menteri Gujarat pada 2001.
Selama masa jabatannya sebagai Ketua Menteri Gujarat, Modi dikenal dengan kebijakan pro-bisnis dan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Namun, reputasinya juga dibayangi oleh kerusuhan komunal Gujarat 2002, yang menewaskan lebih dari 1.000 orang, sebagian besar adalah Muslim.
Beberapa pihak menuduh pemerintahannya gagal mencegah atau bahkan membiarkan kekerasan terjadi. Meski demikian, penyelidikan oleh tim khusus Mahkamah Agung India (SIT) pada 2012 tidak menemukan bukti yang cukup untuk menuntut Modi.
Menjadi Perdana Menteri India
Pada pemilu 2014, Modi memimpin BJP meraih kemenangan mayoritas di parlemen, pertama kalinya sejak 1984. Ia menjabat sebagai Perdana Menteri India sejak 26 Mei 2014 dan kembali terpilih pada 2019 serta 2024. Di tingkat nasional, Modi meluncurkan berbagai kebijakan besar seperti demonetisasi 2016, reformasi pajak GST 2017, dan kampanye Digital India.
Pandangannya terhadap Pakistan cenderung konfrontatif, dengan fokus pada upaya memberantas kelompok militan lintas batas dan memperkuat keamanan nasional India.Modi melancarkan Operasi Balakot pada tahun 2019, yang menarget terduga kamp militan Jaish-e-Mohammed di Pakistan dan juga Operasi Sindoor baru-baru ini.
Pada tahun 2016, Modi secara terang-terangan menyebut Pakistan sebagai negara eksportir terorisme.
"(Hanya) Ada satu negara di Asia yang mengekspor terorisme ke negara-negara lain," ujar Modi, melansir Indian Express.
"Pakistan ingin Kashmir, tetapi seharusnya mereka melihat dulu wilayah yang sudah mereka kuasai—PoK, Gilgit, dan Balochistan," tambah Modi.
Kemenangan ketiganya dalam Pemilu 2024 meskipun dengan perolehan suara yang menurun menunjukkan bahwa kepemimpinannya masih memiliki basis dukungan yang besar, meski tak luput dari tantangan. Modi juga aktif dalam diplomasi luar negeri dan memperkuat posisi India di forum global seperti G20 dan BRICS.
Kritik dan Tuduhan Islamophobia
Modi dikenal sebagai pemimpin yang kuat dan komunikatif, dengan pendekatan populis yang memanfaatkan media sosial dan teknologi digital. Di sisi lain, pemerintahannya kerap dikritik karena dianggap melemahkan institusi demokrasi, memicu polarisasi agama, dan mempersempit ruang kebebasan sipil.
Kebijakan kontroversial seperti pencabutan status khusus Jammu dan Kashmir serta Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan (CAA) memicu protes nasional dan internasional.
Dalam kampanye pemilu 2024, Modi dan para pemimpin BJP lainnya secara konsisten menggunakan retorika yang dianggap anti-Muslim. Menurut laporan
Human Rights Watch pada 14 Agustus 2024, dari 173 pidato kampanye yang disampaikan Modi setelah masa kampanye resmi dimulai, setidaknya 110 di antaranya mengandung ujaran kebencian terhadap Muslim.
Modi menyebut Muslim sebagai “penyusup,” menuduh mereka mengancam tempat ibadah Hindu, bahkan mengklaim mereka memiliki anak lebih banyak untuk mendominasi populasi India.
“Berhala-berhala dewa kita dihancurkan… para penyusup ini telah mengancam keamanan saudari-saudari kita,” ujar Modi dalam pidatonya di Koderma pada 14 Mei 2025.
Di Barabanki pada 17 Mei, ia menuduh oposisi akan menghancurkan Kuil Ram yang baru dibangun di Ayodhya.
“Mereka akan kirim kembali Ram Lalla ke tenda dan menggilas kuil dengan buldoser,” ucap Modi.
Retorika ini memperkuat sentimen anti-Muslim di India dan berkontribusi pada tindakan kekerasan, termasuk pembongkaran rumah dan tempat ibadah Muslim tanpa proses hukum. Beberapa pejabat BJP bahkan menyebutnya sebagai “buldoser keadilan.” Modi sendiri membantah bahwa pemerintahannya anti-Muslim, dan menegaskan bahwa India tetap demokratis dan plural.
Pemberian nama "Operasi Sindoor" menunjukkan peran Narendra Modi dalam merespons insiden keamanan dengan pendekatan yang memadukan pesan politik dan simbolisme. Di tengah dinamika kawasan Asia Selatan yang kompleks, Modi memposisikan diri sebagai pemimpin yang menekankan pentingnya keamanan nasional dan pengakuan terhadap penderitaan warga sipil.
Langkah ini dinilai sebagai bagian dari strategi India dalam menghadapi ancaman teror lintas batas.