Regulasi Tanda Tangan Elektronik dan Tantangan bagi Industri

Diskusi bersama para pemangku kepentingan untuk mengoptimalkan regulasi transaksi elektronik yang fleksibel, inovatif, dan aman. Dok. Istimewa

Regulasi Tanda Tangan Elektronik dan Tantangan bagi Industri

M Rodhi Aulia • 3 March 2025 19:44

Jakarta: Rencana revisi PP No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) mendapat dukungan karena bertujuan meningkatkan keamanan transaksi digital. Namun, sejumlah praktisi mengingatkan dampaknya terhadap kemudahan transaksi dan potensi biaya tambahan bagi pengguna.

Topik ini dibahas dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diinisiasi oleh Lestari, beberapa waktu lalu. Diskusi ini menghadirkan perwakilan dari Komdigi, asosiasi industri, serta pelaku usaha di sektor keuangan, marketplace, dan fintech.

Direktur Pengawasan Sertifikasi dan Transaksi Elektronik Komdigi, Teguh Arifiyadi, menegaskan bahwa keamanan transaksi adalah prioritas utama dalam penerapan TTE. Ia menyoroti bahwa perlindungan data dan validitas dokumen digital harus menjadi perhatian utama dalam regulasi baru ini.

Baca juga: Upaya Percepat Transformasi Digital di Indonesia

Pakar hukum teknologi, Edmon Makarim, menekankan pentingnya mitigasi risiko baru dalam transaksi digital. Menurutnya, peningkatan keamanan tidak boleh mengorbankan efisiensi transaksi, terutama bagi sektor yang sudah menerapkan sistem keamanan ketat.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Muhammad Amirulloh, menambahkan bahwa regulasi harus tetap menjunjung prinsip kepastian hukum, kemanfaatan ekonomi, dan netralitas teknologi. Ketiga prinsip ini, menurutnya, telah diatur dalam UU ITE dan harus menjadi pedoman utama dalam penyusunan aturan baru.

Ia menegaskan bahwa fleksibilitas dalam regulasi akan memastikan inovasi tetap berkembang tanpa menghambat pelaku usaha. Di sisi lain, praktisi industri menyoroti bahwa kewajiban penggunaan TTE tersertifikasi dapat memperumit transaksi digital sehari-hari. Selain itu, kebijakan ini berpotensi membebani pengguna dengan biaya tambahan.

“Jika semua transaksi diwajibkan menggunakan TTE, implementasinya tidak memungkinkan. Bagaimana mungkin penarikan uang di ATM harus disertai tanda tangan elektronik? Ini justru kontraproduktif,” tegas Cathlin dari salah satu bank swasta, yang dikutip Senin, 3 Maret 2025.

Dari perspektif e-commerce, tantangan serupa juga dihadapi oleh para pelaku UMKM yang baru masuk ke dalam ekosistem digital. Mereka dinilai akan mengalami peningkatan kompleksitas teknis dan biaya operasional akibat kewajiban TTE.

“Pemberlakuan TTE bisa berpotensi menghambat UMKM yang baru masuk ekosistem digital karena meningkatkan kompleksitas teknis dan biaya operasional,” ujar Raisha Safira dari idEA.

Sektor fintech juga mengungkapkan kekhawatiran mengenai dampak kebijakan ini terhadap inklusi keuangan, terutama bagi masyarakat unbanked dan underbanked. Menurut mereka, transaksi pembayaran mikro harus tetap sederhana dan terjangkau agar tidak menghambat akses bagi pengguna dengan literasi digital terbatas.

“Jika TTE diwajibkan, bisa menjadi hambatan bagi pengguna dengan literasi digital terbatas,” kata Anggie Setia Ariningsih dari PT Commerce Finance.

Para praktisi sepakat bahwa keamanan transaksi tetap menjadi hal yang sangat penting. Namun, mereka juga menekankan bahwa regulasi harus mempertimbangkan fleksibilitas serta praktik keamanan yang sudah diterapkan industri.

Sebagai alternatif, mereka mengusulkan pendekatan berbasis mitigasi risiko sektoral, peningkatan literasi digital, serta audit keamanan berkala. Dengan demikian, revisi PP No. 71 diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi digital tanpa menghambat inovasi dan akses masyarakat luas.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(M Rodhi Aulia)