Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sebut siap lakukan pemilu. Foto: Anadolu
Muhammad Reyhansyah • 11 December 2025 12:40
Kyiv: Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyatakan bahwa negaranya berpotensi mengadakan pemilu dalam 60 hingga 90 hari apabila keamanan dapat terjamin, upaya yang sekaligus membantah tuduhan Presiden AS Donald Trump bahwa ia memanfaatkan perang dengan Rusia untuk mempertahankan kekuasaan.
Zelensky menegaskan dirinya “siap untuk pemilu,” namun faktor keamanan masih menjadi hambatan utama.
“Bagaimana mungkin hal ini dilakukan saat rudal menghantam pasukan kami? Pertanyaannya adalah, bagaimana mereka akan memberikan suara?” ujar Zelensky seperti dikutip CNN, Kamis, 11 Desember 2025.
Ia kemudian meminta Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa untuk membantu menciptakan kondisi aman agar proses pemungutan suara dapat berlangsung.
Kapan Ukraina Terakhir Menggelar Pemilu?
Zelensky meraih kemenangan telak dalam pemilihan presiden pada April 2019 dan kemudian membubarkan parlemen ketika dilantik sebulan kemudian. Partainya, Servant of the People, memenangkan mayoritas dalam pemilu legislatif pada Juli di tahun yang sama.
Kurang dari tiga tahun kemudian, ketika invasi Rusia dimulai pada Februari 2022, tingkat kepercayaan publik terhadap Zelensky melonjak melalui jajak pendapat yang menunjukkan 90% warga Ukraina menyatakan percaya kepadanya. Meskipun angka tersebut telah menurun dari puncaknya pada 2022, tingkat dukungan relatif stabil selama dua tahun terakhir.
Mengapa Pemilu Tidak Dilaksanakan Sejak 2019?
Alasannya sederhana: hukum darurat militer melarang penyelenggaraan pemilu.
Ukraina sejatinya dijadwalkan melaksanakan pemilu presiden pada 2024. Namun setelah invasi Rusia, pemerintah memberlakukan darurat militer untuk memungkinkan negara mempertahankan diri, dan status ini diperpanjang setiap 90 hari melalui dekret presiden.
Zelensky beserta pejabat Ukraina lainnya telah berulang kali menegaskan bahwa pemilu akan digelar setelah perang berakhir dan standar internasional dapat dipenuhi.
Mengapa Zelensky Kini Membuka Peluang Pemilu?
Situasi diplomatik tengah berada dalam fase sensitif. Ukraina bersiap menyerahkan revisi rencana perdamaian yang dipimpin oleh utusan khusus Trump, Steve Witkoff, bersama menantu Trump, Jared Kushner.
Rancangan awal berisi 28 poin yang banyak dikritik karena dianggap terlalu mengakomodasi tuntutan Rusia kini dipangkas menjadi 20 poin, namun isu utama mengenai wilayah pendudukan tetap belum terselesaikan.
Zelensky menghadapi tekanan meningkat dari Trump untuk memberi konsesi. Namun alih-alih tunduk, ia tampaknya menggunakan isu pemilu untuk menyoroti perlunya jaminan keamanan, sekaligus menekan Washington agar mendesak Moskow menyetujui gencatan senjata sementara.
Mengapa Trump dan Rusia Mendorong Pemilu?
Sejak 2024, ketika masa jabatan Zelensky dinilai telah berakhir, propaganda Rusia menjadikan isu keabsahan politiknya sebagai serangan utama. Narasi serupa juga sempat muncul dalam pernyataan sejumlah pejabat AS. Kini Trump menuding Zelensky menggunakan perang untuk menunda pemilu.
Aktivis pemilu menilai riwayat campur tangan Rusia justru membuat penyelenggaraan pemilu sesuai standar internasional menjadi semakin penting.
“Ini tentang reputasi dan legitimasi negara Ukraina. Tanpa legitimasi, negara ini tidak akan bertahan karena Rusia akan menghancurkan reputasi kami, dan kemudian kami akan menjadi negara gagal,” kata Olha Aivazovska dari Opora Civil Network, kelompok reformasi pemilu.
Meski begitu, sejumlah analis berpendapat pemilu yang digelar saat ini berisiko menciptakan kekosongan politik, situasi yang dianggap menguntungkan bagi Rusia.
Apa Tantangan yang Dihadapi?
Selama darurat militer masih berlaku, tidak ada kerangka hukum yang dapat digunakan untuk menyelenggarakan pemilu. Zelensky telah mengatakan bahwa ia akan meminta perubahan undang-undang, namun tantangan praktis dan logistik tetap besar.
Lebih dari 5,9 juta warga Ukraina kini berada di luar negeri sebagai pengungsi dan 4,4 juta lainnya mengungsi di dalam negeri, sehingga pembaruan data pemilih akan sangat rumit.
Infrastruktur pemilu juga mengalami kerusakan akibat perang. Menurut wakil ketua komisi pemilu Ukraina, Serhiy Dubovyk, hanya 75% tempat pemungutan suara yang masih berfungsi. Hampir satu juta warga Ukraina sedang bertugas di militer, banyak di antaranya berada di garis depan, sehingga mereka tidak akan dapat memberikan suara tanpa adanya jeda pertempuran.
Dubovyk menegaskan bahwa pemilu yang memenuhi standar internasional membutuhkan persiapan selama enam bulan. Jika dilakukan lebih cepat, “mustahil menjamin kepatuhan penuh terhadap seluruh standar internasional.”
Apa Pandangan Warga Ukraina?
Wawancara Reuters menunjukkan sikap publik cenderung seragam: perang terlebih dahulu, pemilu kemudian.
“Orang-orang di parit juga harus memberikan suara, apakah kotak suara akan dibawa ke parit?” ujar Roman, pensiunan berusia 61 tahun. “Menurut saya, kita perlu mengakhiri perang terlebih dahulu, lalu mengadakan pemilu.”
Lana, pegawai toko buku berusia 25 tahun, mengatakan bahwa komentar Trump tidak relevan. “Di negara kami sudah diatur bahwa selama darurat militer, pemilu tidak digelar,” ujarnya.
“Saya mendukung penyelenggaraan pemilu setelah darurat militer berakhir, setelah kemenangan kami, seperti seharusnya,” imbuhnya.
Apakah Pemilu Mungkin Dilaksanakan?
Prospeknya tampak suram. Sebagian wilayah Ukraina masih berada di bawah pendudukan. Serangan drone, rudal jelajah, dan rudal balistik terjadi setiap hari dan menimbulkan korban jiwa serta kehancuran.
Ibu kota Kyiv dan berbagai kota besar lainnya sering mengalami pemadaman listrik berkepanjangan akibat serangan terhadap infrastruktur energi, sementara serangan militer Rusia di timur Ukraina terus berlangsung.
Dalam kondisi seperti ini, penyelenggaraan pemilu dalam 90 hari tampak sulit, bahkan nyaris mustahil.