Bedah Editorial MI: Setop Penyakit Laten Aksi Oplosan

16 July 2025 08:40

Barang oplosan bukanlah fenomena baru di negeri ini. Beragam komoditas di pasaran sudah akrab dengan aksi culas itu. Banyak produk kebutuhan masyarakat sering kali dioplos, mulai dari kebutuhan primer hingga barang-barang tersier.

Urusan oplosan ini, negeri ini pernah dihebohkan dengan adanya bahan bakar minyak (BBM) yang dioplos, yakni antara BBM kualitas sedang dan jenis BBM berkualitas paling bawah. Begitu juga dengan gas LPG oplosan, yakni LPG kemasan 12 kilogram ternyata disuntik dari LPG kemasan 3 kilogram yang disubsidi pemerintah.

Selain itu, isu adanya gula oplosan juga pernah terjadi. Bahkan, informasi soal adanya penjualan daging oplosan juga sempat nyaring beberapa waktu lalu. Pula, pernah ada isu kosmetik oplosan. Semua komoditas bisa dioplos demi mengeruk uang besar.

Kini, aksi serupa terjadi pada bahan paling pokok di republik ini, yakni beras. Komoditas utama dan kebutuhan pokok rakyat itu juga tidak luput dari praktik lancung tersebut. Pengoplosan beras telah terjadi sejak lama, dalam beragam modus dan motif.

Masalah beras oplosan kembali mencuat ke permukaan setelah aparat penegak hukum dan pemerintah menemukan ratusan merek beras yang beredar di pasaran ternyata tidak sesuai dengan kualitas yang tertera pada labelnya. 
 

Baca juga: Negara Rugi Rp100 Triliun Gara-gara Beras Oplosan

Investigasi yang dilakukan oleh Satgas Pangan bersama Kementerian Pertanian dan Kepolisian pada pertengahan tahun 2025, itu mengungkap bahwa ada 212 merek beras di Indonesia terbukti melakukan pelanggaran standar mutu, baik dari sisi bobot kemasan, informasi label, maupun kandungan beras.

Sebanyak 85,56?ras premium tidak sesuai standar mutu, 59,78% dijual di atas harga eceran tertinggi (HET), dan 21,66% tidak sesuai berat kemasan. Untuk beras medium, sebanyak 88,24% tidak memenuhi mutu, 95,12% melampaui HET, dan 9,38% memiliki berat kurang dari klaim kemasan.

Hal ini mengacu pada investigasi selama 6–23 Juni 2025 yang melibatkan 268 sampel beras dari 212 merek di 10 provinsi. Praktik pengoplosan beras bukanlah hal baru dalam industri pangan Indonesia. Pada dasarnya, beras oplosan merujuk pada pencampuran beras dengan kualitas rendah ke dalam kemasan beras bermerek atau premium, yang kemudian dijual ke masyarakat dengan harga lebih tinggi.

Di balik praktik pengoplosan ini, tersimpan permasalahan struktural yang lebih besar, yakni lemahnya pengawasan distribusi pangan, kaburnya mekanisme penegakan hukum, serta eksploitasi sistem ekonomi oleh pelaku industri yang mencari celah keuntungan melalui jalan pintas. 

Persoalannya tetap sama, yakni penyakit laten yang terjadi karena adanya selisih harga antara beras subsidi dan beras premium. Kini, selisih itu dapat mencapai dua ribu hingga tiga ribu rupiah per kilogram. Dengan volume distribusi yang tinggi, praktik ini memberikan keuntungan besar bagi pelakunya.

Kerugian akibat praktik ini bukanlah angka kecil. Menteri Pertanian Amran Sulaiman bahkan menyebut bahwa potensi kerugian konsumen akibat beras oplosan bisa mencapai Rp99 triliun per tahun. Sementara itu, penyalahgunaan distribusi beras subsidi ditaksir menimbulkan kerugian hingga Rp2 triliun per tahun.

Secara hukum, praktik pengoplosan ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 8 undang-undang tersebut menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan mutu, takaran, atau label yang dicantumkan.

Praktik semacam ini tidak hanya memperbesar kerugian ekonomi rakyat, tapi juga ketimpangan sosial. Praktik culas itu juga merusak struktur pasar secara keseluruhan, serta menurunkan efektivitas kebijakan pangan yang dicanangkan pemerintah.

Karena itu, skandal beras oplosan tidak boleh dianggap sebagai insiden sesaat. Persoalan ini mestinya menjadi alarm keras bahwa semua praktik pengoplosan ini mesti segera diakhiri. 

Sudah saatnya bangsa ini mampu menyembuhkan diri dari penyakit laten pengoplosan. Benahi penyaluran barang-barang subsidi yang membuka ketimpangan harga di pasaran. Perketat sistem pengawasan secara berjenjang. Jangan beri ampunan kepada mereka yang berlaku lancung. Ingat, terlampau banyak kejahatan terus berkelindan karena tak pernah ada mekanisme sangat serius terkait dengan penjeraan.

Jangan sampai publik terus menjadi korban yang pada ujungnya bisa memicu krisis kepercayaan. 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Silvana Febriari)