Tangerang Selatan: Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) Tahun 2025 kembali menuai protes dari sejumlah orang tua murid di berbagai daerah. Perubahan dari sistem zonasi menjadi sistem domisili ternyata tak sepenuhnya menyelesaikan masalah. Justru di beberapa daerah, sistem ini kembali memicu polemik baru.
Di Kota Tangerang Selatan, sebanyak 33 anak warga sekitar SMA Negeri 3 gagal diterima meski jarak rumah mereka hanya beberapa meter dari sekolah. Akibatnya, warga menyegel akses jalan menuju sekolah dengan cor semen sejak 2 Juli 2025 lalu.
“Yang kita sampaikan ke kepala sekolah dan dinas ada 33 anak dari 7 RW. Jaraknya ada yang cuma tujuh meter dari sekolah,” ujar Achmad, perwakilan warga dikutip dari Metro Siang Metro TV pada Senin, 14 Juli 2025.
Warga menilai perubahan sistem dari zonasi menjadi domisili justru membuat nilai rapor menjadi pertimbangan utama. Hal ini dinilai tak adil karena standar penilaian antar sekolah berbeda.
“Saya rasa penilaiannya akan lebih fair kalau menggunakan ujian nasional. Karena nilai rapor itu tidak bisa jadi acuan yang adil,” tambah Achmad.
Selain SMA Negeri 3, persoalan serupa terjadi di SMA Negeri 6 Tangerang Selatan. Warga di sekitar sekolah juga menutup akses utama ke sekolah sebagai bentuk protes.
Di sekolah ini, warga mengeluhkan jumlah kursi yang seharusnya cukup untuk anak sekitar justru diisi siswa dari luar wilayah. Bahkan, indikasi jual beli kursi juga mencuat. Seorang sumber yang identitasnya dirahasiakan mengaku jumlah kelas di sekolahnya tiba-tiba bertambah setelah masa MPLS dimulai. Jumlah siswa pun terus bertambah dari hari ke hari. Modus “jalur belakang” atau jalur tidak resmi disebut sebagai penyebabnya.
“Teman saya ada yang masuk lewat jalur itu. Dia bayar di atas 20 juta. Rumahnya juga jauh,” kata sumber tersebut.
Tak hanya itu, kasus memo titipan siswa oleh pejabat daerah yang sempat viral di Banten turut menambah daftar panjang praktik tak sehat dalam proses penerimaan murid baru.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (
JPPI), Ubaid Matraji, menyebut jual beli kursi dan praktik titipan sudah jadi rahasia umum. Menurutnya, akar masalah terletak pada ketidakjelasan sistem penerimaan yang terus berganti nama tapi tidak pernah diperbaiki secara mendasar.
“Masalahnya bukan pada nama sistemnya. Mau zonasi, domisili, atau apapun, selama tidak ada perbaikan menyeluruh, masyarakat akan terus merasa tidak mendapatkan layanan pendidikan yang adil,” kata Ubaid.
Polemik SPMB 2025 juga terjadi di daerah lain. Di Jombang, Jawa Timur, orang tua siswa mengukur jarak rumah ke sekolah karena merasa dirugikan oleh sistem domisili. Di Makassar, Sulawesi Selatan, warga bahkan memblokir akses menuju SMA Negeri 12 hingga akhirnya tuntutan mereka dikabulkan.
Masalah penerimaan murid baru di sekolah negeri yang tak kunjung selesai tiap tahun menunjukkan perlunya evaluasi serius dari pemerintah. Sistem seleksi yang transparan dan adil dibutuhkan agar setiap anak bangsa mendapatkan kesempatan pendidikan yang layak dan setara.
(Tamara Sanny)