24 September 2025 17:58
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyebut bisnis perkebunan menjadi penyebab konflik agraria tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Salah satunya terjadi pada masyarakat adat Tano Batak.
"Dalam 20 tahun terakhir bisnis-bisnis perkebunan termasuk sawit itu menjadi penyebab konflik agraria selalu tertinggi. Artinya ada problem tentang penerbitan perpanjangan pembaruan HGU kepada korporasi-korporasi besar yang tumpang tindih dengan kampung-kampung, tumpang tindih dengan desa-desa, wilayah adat, pemukiman, termasuk perkampungan nelayan," ujarnya dikutip dari Breaking News, Metro TV, Rabu, 24 September 2025.
"Misalnya baru-baru ini baru saja terjadi kekerasan di masyarakat adat Tano Batak. Bagaimana hutan tanaman industri milik Sukanto Tanoto menguasai tanah 156 ribu hektare dan berpuluhan tahun itu berkonflik dengan masyarakat adat. Itu hanya salah satu contoh. Dan kemarin mereka direpresi lagi oleh preman-preman perusahaan. Ini hanya gambaran sedikit saja tentang betapa ada carut-marut tentang kebijakan-kebijakan agraria yang justru pendulumnya, alokasi tanahnya, kekayaan alamnya lebih diprioritaskan untuk badan usaha skala besar," ucapnya.
KPA menuntut pemerintah menepati janji untuk menertibkan tanah terlantar dan menjalankan reforma agraria.
Baca: KPA: Setop Pendekatan Represif Aparat dalam Konflik Agraria |
Kategori Lahan | Luas Lahan (juta ha) | Persentase (%) | Jumlah Pemilik |
Konsesi Kehutanan (HA-HTI) | 34,18 | 43% |
535 Perusahaan Besar
|
Perkebunan Sawit (Izin HGU) | 17,3 | 23% |
959 Perusahaan Besar
|
Tambang Mineral dan Batubara | 9,1 | 14% |
2.285 Perusahaan Besar
|
Tanah Terlantar (HGU, HGB) | 7,35 | 11% |
Tidak ada data
|
Petani Gurem | 4,3 | 6% |
17.248.181 (17 Jutaan) orang
|
Food Estate | 3,13 | 3% |
Tidak ada data
|