Zein Zahiratul Fauziyyah • 11 September 2025 17:07
Jakarta: Hari Radio Nasional yang diperingati setiap 11 September menjadi momen penting untuk mengingat kembali betapa besar peran radio dalam sejarah Indonesia. Bukan sekadar alat hiburan, radio pernah menjadi senjata perjuangan, penyebar kabar, sekaligus pengikat semangat bangsa.
Salah satu sosok yang tak bisa dilepaskan dari sejarah itu adalah Yusuf Ronodipuro, penyiar sekaligus pendiri Radio Republik Indonesia (RRI). Namanya tercatat abadi karena keberaniannya menyiarkan teks Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 melalui stasiun radio Hoso Kyoku milik Jepang.
Radio dan Penyebaran Proklamasi
Sejarah mencatat, setelah Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta membacakan
Proklamasi pada pukul 10.00 WIB, kabar kemerdekaan belum langsung diketahui masyarakat luas. Teknologi informasi saat itu masih terbatas, dan Jepang masih melakukan pengawasan ketat terhadap media.
Namun, berkat keberanian Yusuf Ronodipuro bersama rekan-rekannya, siaran teks Proklamasi akhirnya berhasil diperdengarkan pada pukul 19.00 WIB. Dengan memanfaatkan
studio siaran luar negeri yang tidak dijaga ketat, suara kemerdekaan Indonesia menggema, menembus batas sensor, dan menyebar ke seluruh penjuru negeri bahkan ke dunia internasional.
Langkah berani itu tidak tanpa risiko. Yusuf dan rekannya Bachtiar Loebis sempat ditangkap dan dipukuli oleh tentara Jepang. Meski demikian, siaran itu telah menorehkan sejarah:
Proklamasi Kemerdekaan resmi terdengar melalui udara, mempertegas lahirnya sebuah bangsa merdeka.
Lahirnya Radio Republik Indonesia
Tak berhenti di situ, hanya beberapa minggu kemudian Yusuf Ronodipuro kembali mencatat
sejarah. Pada 11 September 1945, bersama para tokoh radio lainnya, ia mendirikan Radio Republik Indonesia (RRI). Semboyannya yang legendaris, “Sekali di Udara Tetap di Udara,” menjadi simbol konsistensi radio sebagai suara perjuangan dan persatuan bangsa.
Sejak saat itu, RRI bukan hanya menjadi lembaga
penyiaran, tetapi juga penjaga narasi bangsa di masa-masa genting, termasuk ketika Indonesia menghadapi Agresi Militer Belanda.
Kini, di tengah dominasi
media sosial dan platform digital, radio masih punya tempatnya sendiri. Kecepatan, kedekatan emosional, dan kehangatan suara penyiar tetap menjadi kekuatan unik radio.
Sobat
MTVN Lens, warisan Yusuf Ronodipuro mengajarkan, media apapun bisa menjadi alat perjuangan jika digunakan dengan keberanian dan ketulusan.
Jangan lupa saksikan
MTVN Lens lainnya hanya di Metrotvnews.com.