18 February 2024 15:47
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkap bahwa impor bukan solusi untuk mengatasi masalah kelangkaan beras ataupun harga beras yang semakin mahal. Sebab, harga beras yang mahal disebabkan naiknya biaya produksi.
"Sudah dari 2021 sudah diwanti-wanti akan terjadi kenaikan. Salah satu naiknya biaya produksi adalah karena saat itu ada pemangkasan subsidi," kata Bhima dalam tayangan Metro Siang, Metro TV, Minggu 18 Januari 2024.
Pemangkasan subsidi, kata Bhima, efeknya sangat terasa sampai saat ini. Khususnya bagi petani.
"Berpengaruh pada harga jual gabah, kemudian diteruskan kepada konsumen tingkat akhir," ujar Bhima.
Hal serupa juga terjadi pada pupuk. Terbatasnya pupuk membuat biaya produksi juga naik.
"Setidaknya 30?ri komponen dari biaya produksi untuk beras itu dari pupuk," ucapnya.
Bhima menyatakan bahwa subsidi pupuk terbatas. Selain itu, administrasinya juga dinilai rumit.
"Akhrnya petani beralih ke pupuk non subsidi untuk tetap menanam padinya atau tanaman pangannya. Ini berakibat di level konsumen yang naik," ungkap Bhima.
Menurut Bhima, impor beras bukan solusi untuk mengatasi masalah ini. Namun, dengan menyelesaikan faktor dari biaya produksi dan distribusi yang naik.
Diketahui, di awal tahun tepatnya periode Januari 2024, terdapat impor yang jumlahnya juga cukup lumayan sekitar 443.500 ton. Jika merujuk data BPS sepanjang 2023, Indonesia mengimpor beras sebanyak 3 juta ton lebih.
Thailand menjadi negara terbanyak dengan mengimpor 1,38 juta ton, diikuti Vietnam, Pakistan, Myanmar serta beberapa negara lain.