Ratusan anak pekerja migran Indonesia yang lahir di Sabah, Malaysia akan melanjutkan pendidikan jenjang SMA di Indonesia melalui Beasiswa Program Repatriasi Generasi Maju Cinta Tanah Air atau Gema Cita 2024. Namun di balik itu, sanggar belajar tempat mereka selama ini menempuh pendidikan memerlukan atensi lebih.
Berjarak kurang lebih 90 km dari pusat Kota Kinabalu, Negeri Sabah, Malaysia, sejumlah Community Learning Center (CLC) termasuk yang ada di Kundasang menjadi sekolah yang diinisiasi untuk memenuhi pendidikan anak pekerja migran Indonesia. Pusat pendidikan ini menggunakan kurikulum yang sama dengan yang ada di Indonesia. Sayangnya, fasilitas CLC sebagai masih perlu mendapatkan atensi lebih.
Di kaki Gunung Kinabalu, semangat anak pekerja migran Indonesia untuk mengenyam pendidikan terpotret jelas. Guru dan murid berpadu menyukseskan amanat Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945. Bangunan sekolah dari kayu diisi deretan kursi plastik menjadi pemandangan yang akan dijumpai ketika bertandang ke sanggar belajar CLC Kundasang yang berada di Negeri Sabah Malaysia.
Di balik normalnya kegiatan bersekolah, ada keresahan yang dirasakan oleh pengajar. Guru CLC Kundasang, Arief Dayatno menyebut keresahannya yaitu minimnya jumlah tenaga pendidik dan fasilitas akses belajar.
"Kami di sini sering mengalami kesusahan karena seringnya bertukar kurikulum. Kami di sini yang hanya menggunakan buku kurikulum 2013, seharusnya sekarang menggunakan kurikulum Merdeka. Walau demikian, kami berusaha mengambil materi-materi yang ada di dalam itu," ungkap Arief.
Pemerintah membawa CLC ini sebagai isu perlindungan dan diplomasi, bukan dalam lingkup pendidikan. Sayangnya, CLC non ladang seperti di kundasang masih belum diakui kelegalannya oleh Pemerintah Malaysia.
Saat mengunjungi CLC kundasang di Sabah Malaysia, Atase Disbudristek
KBRI Kuala Lumpur, Muhammad Firdaus mengatakan pihaknya terus berupaya mewujudkan pendidikan bagi warganya khususnya bagi anak pekerja migran Indonesia.
"Ini yang perlu kita dorong dari pemerintah Indonesia baik dari Presiden sendiri, Kementerian Luar Negeri dengan KBRI di Kuala Lumpur dan KJRI di Kinabalu dan Sarawak untuk bagaimana kita bisa melakukan pendekatan ke Malaysia untuk memformalkan CLC yang ada di luar ladang ini," ungkap Firdaus.
Diperkirakan 1,1 juta Pekerja Migran Indonesia (PMI) tersebar di Semenanjung Malaysia dan Malaysia Timur dengan 800 ribu orang adalah pekerja migran ilegal. Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) sebagai induk dari ratusan CLC di Sabah dan Sarawak hadir untuk mengatasi masalah akses pendidikan bagi anak pekerja migran asal Indonesia.
Murid CLC Menyambung Asa dalam Keterbatasan
Sebanyak 471 murid Indonesia kelahiran Sabah Malaysia telah dilepas untuk menempuh pendidikan jenjang SMA di Indonesia dalam Program Beasiswa Repatriasi Pendidikan bernama Gema Cita. Delji Rante Uma adalah salah satu siswi CLC di Sabah yang akan melanjutkan pendidikan di SMK Negeri 10 Tangerang. Dirinya tak menyangka bisa mendapatkan beasiswa dan akan mengenyam pendidikan di tanah air.
"Senang, bangga juga sama diri sendiri. Tidak menyangka bisa dapat beasiswa. Saya ingin sukses, membanggakan orang tua, supaya angkat derajat orang tua," ungkap Uma.
Kepala Sekolah SIKK, Sahyuddin menyebut, bahwa SIKK adalah representasi Pemerintah Indonesia. Maka dari itu perlu mendapat perhatian yang sama dengan sekolah-sekolah di dalam negeri.
"Jadi kami harapkan misalnya dukungan yang selama ini diberikan mungkin meningkat, guru-guru kami akan semakin bagus," ungkap Sahyuddin.
Serah terima siswa dilakukan sebelum mereka memulai hari pertamanya di sekolah baru, salah satunya di Provinsi
Banten. Pihak sekolah dan Pemerintah Provinsi Banten mengaku akan terus berupaya menjamin pendidikan anak pekerja migran Indonesia di tanah air.