Bedah Editorial MI: Alarm Bahaya dari Lonjakan Korupsi

21 May 2024 09:02

Semakin jelas mengapa korupsi sulit diberantas di negara ini. Bukan semata karena jiwa busuk para pelaku, melainkan juga karena upaya pemberangusan terhadap budaya korupsi tidak terlalu menjadi prioritas dari para pemangku kepentingan.

Nasib RUU Perampasan Aset Tindak Pidana (PATP) menjadi buktinya. Pembahasan RUU itu mangkrak lebih dari satu dekade. Pada Mei 2023 lalu, ketika Presiden berupaya mendorong pembahasannya di DPR dengan mengirimkan surat perintah presiden (supres) mengenai RUU itu, tetap saja pimpinan DPR bergeming.
 
Nasib RUU yang sebenarnya masuk Prolegnas 2023 ini pun tersalip RUU lainnya, yang bahkan tidak masuk prolegnas dan prioritas tapi dekat dengan kepentingan para elite. Contohnya ialah RUU Desa yang diselundupkan di tengah jalan dan langsung melesat disahkan pada 28 Maret 2024.
 
Contoh lainnya ialah revisi UU Kementerian Negara yang juga bukan prolegnas prioritas tetapi sudah disetujui Badan Legislasi DPR pada 17 Mei lalu. Mereka juga sesumbar RUU itu bakal disahkan sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo–Gibran, pada 20 Oktober mendatang.
 
Revisi UU Penyiaran juga menyalip di tikungan. Rencana mengubah beleid tentang penyiaran yang belakangan drafnya memunculkan kontroversi dan gelombang penolakan dari komunitas pers itu, bukannya tidak penting. Namun bila dilihat dari sisi urgensinya, RUU Perampasan Aset semestinya lebih tinggi dan lebih genting mengingat tindak kejahatan korupsi di negeri ini yang tak pernah surut bahkan meningkat.

Hal itu bisa dilihat dari hasil pemantauan yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak 2019 hingga 2023. Kesimpulan yang didapatkan, tren perkara korupsi di Indonesia terus meningkat dalam lima tahun terakhir tersebut. Pun, jumlah tersangkanya semakin bertambah.
   
Menurut ICW, pada 2019 angka korupsi sebanyak 271 kasus, lalu melejit menjadi 444 kasus pada 2020. Pada 2021, naik lagi mencapai 533 kasus, dan pada 2022 lalu, sebanyak 579 kasus. Lalu, terjadi lonjakan perkara menjadi sebanyak 791 pada 2023.

Kenaikan kasus dan tersangka yang konsisten itu harus menjadi alarm sekaligus peringatan bagi penegak hukum dan pemerintah di Indonesia. Tak bosan-bosan kita mendesak hukuman bagi para koruptor harus dimaksimalkan sehingga menimbulkan efek jera.

Pada titik itulah, sesungguhnya siapa pun tidak boleh membiarkan RUU Perampasan Aset terus mangkrak. Penerapan RUU inilah yang diharapkan dapat benar-benar membuat efek jera pada koruptor. Dengan beleid itu, singkatnya, koruptor dapat dimiskinkan. Begitu pula semua orang yang terciprat uang haram itu harus mengembalikan kepada negara.

Tanpa UU Perampasan Aset, upaya pemiskinan terhadap terpidana korupsi lebih bergantung kepada subjektivitas hakim. Ketika di satu kasus  hakim tidak cukup jeli ataupun kurang teguh memaksa untuk pengembalian uang negara, maka memiskinkan koruptor hanya angan-angan. 

Lagi-lagi, koruptor yang tetap jadi pemenang. Sudah hukuman kurungan dikorting hampir tiap tahun, saat keluar dari penjara, mereka masih bergelimang harta. Tidak ada efek jera sama sekali. Lebih menyedihkan karena banyak otak utama kasus korupsi tidak tersentuh. Para aktor utama dapat bersembunyi karena sulitnya pembuktian tindak pidana.

Semestinya, jika sudah ada UU Perampasan Aset, pembuktian tindak pidana tidak lagi diperlukan. Meski para pelaku tidak dapat diseret atas tindak korupsi, aset tetap dapat disita jika tidak dapat dibuktikan kesahihannya. Selain itu, penyitaan aset juga bisa dilakukan meski sang pemilik buron atau tidak diketahui rimbanya. 

Karena itu, sejatinya tidak ada alasan logis untuk memperlama atau menunda-nunda pembahasan RUU Perampasan Aset. Di akhir masa baktinya yang tinggal beberapa bulan lagi, sepatutnya DPR cepat tersadar bahwa membuang waktu dengan berbasa-basi soal pemberantasan korupsi, tapi di sisi lain enggan menyelesaikan RUU Perampasan Aset, sama saja akan menjerumuskan bangsa ini ke kubangan korupsi yang lebih dalam. 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Silvana Febriari)