30 April 2024 10:19
Hakim konstitusi adalah negarawan yang diharapkan mampu menjaga maruah konstitusi. Karena itu pula, semestinya seorang hakim konstitusi netral dan tidak berada dalam pusaran konflik kepentingan.
Dia juga harus bebas dari anasir-anasir yang bisa memicu konflik kepentingan. Apalagi saat sedang memutus perkara, dengan dalih apapun.
Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) sepertinya tidak jemu bermain dengan konflik kepentingan. Atau paling tidak, menyerempet-nyerempet dengan konflik kepentingan tersebut.
Itu terlihat saat MK mendorong Arsul Sani untuk menjadi hakim saat mengadili sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Legislatif 2024 yang melibatkan partai yang pernah dipimpinnya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
MK memutuskan melibatkan Arsul Sani untuk ikut menyidangkan perkara PHPU legislatif dengan pemohon PPP. Partai berlambang Kakbah ini merupakan partai yang paling banyak mengajukan PHPU, sebagai imbas dari ketidaklolosan mereka ke parlemen.
MK mendalilkan pelibatan Arsul yang merupakan salah satu petinggi partai tersebut agar persidangan berjalan lancar. Sebab, ada tiga panel dalam sengketa pileg dengan minimal hakim dalam tiap panel adalah tiga orang. Jika Arsul tidak dilibatkan akan menyebabkan kuorum hakim di tiap-tiap panel menjadi tidak cukup.
Kendati demikian, MK menegaskan Arsul tidak akan menggunakan hak untuk memutus sidang yang berkaitan dengan PPP, baik sebagai pemohon atau pihak terkait, termasuk saat sesi pendalaman.
Memang, kita tidak meragukan integritas seorang Arsul Sani. Kita sangat yakin dia punya sikap negarawan dan memiliki integritas yang bisa memisahkan kepentingan kelompok dan pribadi. Apalagi, Arsul juga telah disumpah untuk selalu objektif dan taat pada konstitusi.
Bahkan, Arsul juga sudah meminta kepada MK untuk tidak dilibatkan dalam persidangan yang melibatkan PPP. Kita apresiasi keengganan Arsul dalam melibatkan diri ke sidang-sidang yang berpotensi membawanya ke konflik kepentingan. Kita angkat topi untuk ikhtiarnya menjauh dari tarikan konflik kepentingan itu.
Namun, sayangnya, MK sebagai institusi justru ingin membawa Arsul ke tengah pusaran kepentingan. Dengan dalih efisiensi, MK seolah hendak mengabaikan bahwa persoalan utama yang membuat lembaga itu kehilangan kepercayaan ialah lekatnya konflik kepentingan.
Alasan teknis semestinya tidak boleh mengaburkan prinsip besar, yaitu hakim seharusnya menjaga netralitas dan menjauh dari konflik kepentingan.
Merunut ke belakang, MK punya preseden terbentur dengan konflik kepentingan. Yang paling fenomenal adalah gugatan syarat usia calon presiden dan wakil presiden. Dalam kasus ini, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi.
Publik tidak ingin kasus seperti itu terulang kembali. Publik juga tidak mau MK sebagai penjaga muruah konstitusi terkooptasi dengan kepentingan sempit partai politik. Kewenangan MK sangat besar, dan keputusannya yang bersifat final dan mengikat memberi dampak sangat besar bagi perjalanan bangsa ini. Untuk itu, tidak ada kata lain, MK harus tegas menjaga netralitasnya, tanpa kompromi dengan dalih teknis.
Dengan banyaknya PHPU, ada baiknya juga untuk dipertimbangkan tidak ada lagi hakim konstitusi dari partai politik. Tentu kita masih ingat nasib hakim-hakim dari partai politik, seperti Patrialis Akbar dan Akil Mohtar. Dengan fungsi MK yang sangat strategis dalam sistem hukum dan ketatanegaraan kita, jangan sampai MK menjadi alat kepentingan politik sempit dan jangka pendek.