Ketegangan di Timur Tengah kembali memanas setelah Israel melancarkan serangan ke wilayah Iran pada dini hari, 18 Juni 2025. Operasi militer bertajuk Rising Lion itu langsung memicu gejolak pasar global, terutama kenaikan harga minyak mentah dunia dan penguatan indeks dolar Amerika Serikat.
Meski investor global masih terbagi dalam menilai eskalasi dan durasi konflik, banyak pihak membandingkan situasi ini dengan invasi Rusia ke Ukraina pada 2022 dan perang Israel–Hamas pada 2023. Pemerintah Indonesia pun mulai bersiap mengantisipasi dampaknya terhadap ekonomi nasional.
Di tengah ketegangan ini, para menteri luar negeri dari 20 negara Arab dan Muslim menyerukan penghentian perang antara Iran dan Israel. Mereka juga mendesak dilanjutkannya pembicaraan nuklir dengan Iran serta pentingnya menjaga kebebasan navigasi di jalur perairan internasional.
Salah satu kekhawatiran utama adalah lonjakan harga minyak dunia. Iran sebagai salah satu produsen dan eksportir minyak terbesar dunia memiliki pengaruh signifikan terhadap pasokan global. Harga minyak mentah Brent sempat melonjak 13 persen ke level USD78,50 per barel, tertinggi sejak Januari 2025.
Lembaga keuangan JP Morgan bahkan memperkirakan
harga minyak bisa tembus USD130 per barel jika Iran menutup Selat Hormuz, titik krusial distribusi yang dilalui sekitar 20 persen konsumsi minyak dunia. Jika selat ini diblokade, pasokan global akan terganggu, dan harga minyak diprediksi melonjak tajam.
Dampak dari lonjakan harga minyak sangat dirasakan oleh negara pengimpor seperti Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat Indonesia mengimpor sekitar 16,88 juta ton minyak mentah pada 2024. Kenaikan harga minyak otomatis meningkatkan beban subsidi energi yang tahun ini saja telah dianggarkan sebesar Rp203,41 triliun, dengan asumsi harga minyak Indonesia di angka USD82 per barel dan nilai tukar rupiah Rp16.000 per dolar.
Namun jika harga minyak dunia menembus UDS130 per barel dan nilai tukar rupiah tertekan hingga Rp17.000, beban subsidi dipastikan akan membengkak. Tak hanya itu, kenaikan harga minyak juga mendorong inflasi global akibat terganggunya rantai pasok dan meningkatnya biaya produksi.
Inflasi yang tinggi berisiko memicu
resesi global. Bank Dunia pun telah merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini dari 2,7 persen menjadi 2,3 persen. Resesi akan berdampak pada lesunya perdagangan internasional dan menurunnya permintaan ekspor, termasuk dari Indonesia.
Risiko geopolitik juga menghantui aliran investasi asing. Investor cenderung mengalihkan aset ke instrumen yang lebih aman seperti emas dan dolar AS, yang pada akhirnya dapat melemahkan nilai tukar rupiah lebih lanjut.
Pemerintah Indonesia kini tengah mengkaji berbagai langkah mitigasi. Di tengah konflik yang terjadi di luar negeri, krisis ekonomi justru mengancam stabilitas dalam negeri.
(Tamara Sanny)