Diturunkannya tulisan opini di sebuah portal online Detik yang berjudul 'Jenderal di Jabatan Sipil di Mana Merit ASN?' menyita perhatian. Bagaimana sebetulnya negara melindungi hak berpendapat?
Pasal 28E Ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyebut 'Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, & mengeluarkan pendapat'.
Namun survei Indikator Politik Indonesia 11-21 Februari 2022 menyebut sebanyak 62,9 persen responden takut menyampaikan pendapatnya karena takut dijerat pidana melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Sementara itu, 21,4 persen responden tak takut menyampaikan pendapat. Dan 15,7 persen tidak mau menjawab.
Padahal elemen kunci untuk mencapai sistem demokrasi yang berkeadilan yang sesuai dengan harapan masyarakat adalah kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berserikat.
Baru-baru ini, kebebasan berpendapat semakin sesak. Opini berjudul 'Jenderal di Jabatan Sipil, di Mana Merit ASN?' di portal online Detik diturunkan karena UU ITE. Penulis (YF) mengaku diintimidasi orang tak dikenal usai menulis opini tersebut.
Selain itu,
Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Pemberitaan Jak TV TB sebagai tersangka usai Jak TV memproduksi berita yang dianggap merintangi penyidikan.
Dalam kasus Jak TV, TB diindikasi menerima suap dari advokat. Namun, Kejagung menyoroti pemberitaan di Jak TV yang dianggap menghalangi penyidikan kasus korupsi yang tengah ditangani.
Warga Negara Bebas Berpendapat
Bagaimana sebetulnya hak warga negara dalam berdemokrasi? Sejatinya, warga negara bebas terlibat dalam diskusi publik, bebas mengkritik pemerintah, dan berorganisasi & turut serta mendorong perubahan sosial.
Ketakutan menyampaikan pendapat wajar dialami sebab berekspresi dan berpendapat rawan terjerat hukum.
Mahasiswi Fakultas Seni Rupa & Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB) jadi tersangka dan ditahan (ditangguhkan) pasca membuat meme kurang pantas berisi foto Presiden Prabowo Subianto dan Jokowi.
Selain itu, Septia Dwi Pertiwi jadi tersangka setelah mengkritik gaji karyawan PT Hive Five yang di bawah UMR. Ia dituntut satu tahun penjara dan denda Rp50 juta.
Masyarakat enggan berpendapat karena takut akan penegakan hukum, tekanan sosial, dan sensor tidak resmi. Selain itu ada pengawasan yang ketat di ruang digital. Potensi intimidasi juga membayangi aktivis dan jurnalis.
Serangan terhadap jurnalis masih tinggi. Data Amnesty International mencatat pada 2024 terdapat 62 serangan terhadap jurnalis dengan 112 korban.
Pada 2025, 1 Januari-11 April tercatat 23 serangan fisik dengan jumlah korban 26. Pada 1 Februari-8 April terdapat dua kasus serangan digital dengan jumlah tiga korban.
Pada 19 & 22 Maret 2025,
jurnalis Tempo Francisca Christy Rosana mendapat kiriman bangkai kepala babi dari orang tak dikenal. Ancaman itu disusul dengan paket kiriman enam ekor tikus yang diterima Kantor Redaksi Tempo.