Penjaga Konstitusi Bukan Pembajak Demokrasi

14 June 2023 21:55

Pengucapan putusan gugatan uji materi sistem pemilu proporsional terbuka yang dijadwalkan berlangsung esok pagi di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, akan menentukan nasib demokrasi kita. Demokrasi akan menang hanya jika gugatan itu ditolak atau tidak diterima. Yang artinya pula, sistem proporsional terbuka sebagaimana amanat Undang-Undang 17/2017 tentang Pemilu, dipertahankan.

Sebab itu, hingga malam terakhir ini, bahkan hingga jam-jam akhir nanti sebelum pengucapan, MK harus teguh berpihak pada demokrasi. Terlebih, sistem proporsional terbuka yang telah berjalan selama ini terbukti membuat rakyat lebih mengenal para caleg. 

Tidak heran, dari berbagai survei mengenai sistem pemilu, suara rakyat selalu dominan pada sistem proporsional terbuka. Termasuk pada survei Indikator Politik Indonesia yang dilakukan Februari dan Maret 2023, lebih dari 80% responden menghendaki sistem proporsional terbuka dan hanya 11% yang setuju sistem tertutup.

Bahkan tidak hanya rakyat, dari sembilan partai di parlemen, hanya PDIP yang mendukung diterapkan sistem coblos partai atau sistem tertutup. Sedangkan delapan fraksi lainnya yaitu Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PAN, PKS, Demokrat, dan PPP menolak usul tersebut.

Dari situ, MK harus paham jika keputusan yang tidak berpihak pada sistem proporsional terbuka akan jadi pertanyaan besar. Konsekuensi MK akan dikaitkan dengan partai tertentu, sulit dihindari.

Lebih mendasar lagi, keputusan yang bertentangan dengan sistem proporsional terbuka, apapun bentuknya, adalah kemunduran demokrasi. Bahkan jikalaupun MK hanya menerima sebagian gugatan atau memberi jalan bagi sistem campuran.  

Sistem pemilu campuran belakangan ini semakin banyak dihembuskan, yang salah satu wujudnya adalah dengan sistem tertutup untuk level DPR RI dan sistem terbuka untuk DPRD Provinsi dan kabupaten/kota. Kalaupun level penerapan itu dibalik, pencideraan terhadap suara rakyat tidak berkurang. Negara meremehkan kemampuan rakyat dalam memilih kader dan hanya memuaskan ego segelintir parpol. 

Berbagai bahaya dan kemunduran dari sistem proporsional tertutup itu pula yang sudah disampaikan para ahli hukum dan tata negara dalam sidang-sidang uji materi sistem pemilihan umum yang telah digelar sejak Januari.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi’iyah,  Abdul Chair, mengatakan sistem proporsional terbuka sejalan dengan kebenaran dan sekaligus keadilan. Keduanya merupakan dwitunggal yang tidak terpisahkan. 

Bahkan jika mengacu pada Fatwa MUI, kata Abdul Chair, sistem proporsional tertutup tidak dapat memenuhi syarat pemilihan. Sebab kewajiban rakyat untuk memilih calon yang beriman dan bertakwa, jujur (shiddîq), tepercaya (amânah), aktif dan aspiratif (tablîgh), mempunyai kemampuan (fathânah), tidak dapat dilakukan.

Sementara, ahli yang dihadirkan Partai Nasdem, I Gusti Putu Artha menyatakan meski sama-sama konsitusional, sistem proporsional terbuka memiliki bobot yang lebih tinggi dibanding sistem tertutup. Selain itu, sistem proporsional terbuka juga terbukti membangun tatanan proses kaderisasi politik yang mendorong lahirnya pemimpin lokal yang memiliki hubungan yang amat dekat dengan rakyat.

Karena itu sekali lagi, tidak ada alasan bagi MK untuk menerima gugatan uji materi sistem pemilu proporsional terbuka, baik sepenuhnya ataupun sebagian. Para hakim MK justru harus bulat menolak gugatan itu dan teguh pada sistem proporsional terbuka.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Sofia Zakiah)