Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai telah terjadi pelanggaran prosedur operasional standar (SOP) dalam kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang dokter residen di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Hal ini disampaikan menyusul sorotan terhadap lemahnya pengawasan internal di rumah sakit tipe A tersebut.
“Saya kira jelas ada pelanggaran SOP. Bagaimana mungkin seorang dokter membawa pasien sendirian ke lantai tujuh tanpa didampingi perawat? Itu sangat memprihatinkan,” kata dr. Slamet, perwakilan IDI, seperti dikutip dari Primetime News Metro TV, Senin, 14 April 2025.
Ia menilai, sebagai rumah sakit besar dengan akreditasi paripurna, seharusnya
pengawasan internal, termasuk pemantauan CCTV, dapat berjalan optimal.
“Selama saya jadi direktur, belum pernah ada dokter membawa pasien sendiri tanpa pengawasan. CCTV seharusnya dipantau 24 jam. Jika itu tidak terjadi, berarti ada sistem pengawasan yang tidak berjalan,” ujarnya.
Hal senada disampaikan oleh Ketua Umum Relawan Sahabat Perempuan dan Anak (SEHAT), Debi Agusfriansa. Ia menyoroti lemahnya pengawasan serta minimnya respons dari pihak rumah sakit dan aparat
penegak hukum saat laporan pertama kali diajukan.
“Kami sayangkan RS tidak menjalankan SOP dengan tegas. Dokter keluar masuk IGD harusnya dengan persetujuan, dan selalu didampingi perawat. Bagaimana bisa lolos sampai lantai tujuh tanpa ada yang tahu?” ujar Debi.
Debi juga menyampaikan bahwa korban mengalami
trauma yang mendalam.
“Trauma korban diperparah karena kuasa hukum pelaku sempat menunjukkan akta perdamaian tanpa sensor, sehingga identitas korban tersebar luas,” tuturnya.
Sejauh ini, belum ada tuntutan resmi dari pihak korban terhadap rumah sakit, namun Debi menegaskan pentingnya mengkaji ulang
SOP yang berlaku di RSHS, terutama terkait penggunaan alat bius dan ruang tindakan.
Sementara itu, IDI menyatakan bahwa pihaknya telah berkoordinasi melalui wilayah Jawa Barat (Jabar), namun belum sampai pada ranah manajemen
rumah sakit.
“IDI terbatas hanya pada ranah kedokteran. Untuk SOP dan pengawasan rumah sakit itu menjadi kewenangan direktur dan Kementerian Kesehatan,” kata dr. Slamet.
Dalam
proses hukum, Debi menyebut pihaknya mendorong penerapan pasal tambahan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Kami dorong penerapan Pasal 15 huruf B dan Pasal 64 KUHP. Hukuman bisa jadi 17 tahun ditambah sepertiga masa hukuman karena pelaku adalah tenaga medis,” tegasnya.
Kasus ini disebut sebagai extraordinary crime, dan saat ini sudah ada indikasi
korban lain yang melapor dan tengah dijadwalkan pemeriksaannya.
IDI berharap ke depan kepercayaan masyarakat terhadap profesi dokter bisa pulih melalui penguatan pembinaan
etika profesi dan pengawasan ketat, terutama di rumah sakit pendidikan seperti RSHS.
(Zein Zahiratul Fauziyyah)