Sumba Timur: Di sudut sunyi Kampung Mau Bakul, pelosok selatan Sumba Timur, lahirlah seorang anak muda dengan mimpi yang jauh melampaui batas kampungnya. Dia adalah Umbu Makaborang atau yang akrab disapa Umbu Ino.
Sejak kecil Umbu Ino hidup dalam keterbatasan, di mana akses pendidikan, layanan kesehatan, dan teknologi bukanlah sesuatu yang mudah dijangkau apalagi dirasakan.
Namun dari keterbatasan itulah kepekaan Umbu Ino mulai tumbuh dan berkembang. Ia mampu belajar membaca keadaan, memahami kesulitan, dan menyimpan berbagai pertanyaan tentang ketimpangan yang pernah dilihat dan dirasakan sejak dini.
Saat menjalani bangku SMA, Umbu Ino berpindah ke Waingapu, ibu kota Kabupaten Sumba Timur. Di sana, untuk pertama kalinya, ia melihat secara nyata jurang kesenjangan antara wilayah pelosok dan perkotaan. Akses yang lebih mudah, fasilitas lengkap, serta informasi yang terbuka menjadi kontras tajam dengan kehidupan yang ia tinggalkan.
Kesenjangan tersebut semakin terasa ketika Umbo Ino melanjutkan pendidikan ke Bali. Di sana ia menyaksikan betapa pendidikan, kesehatan, dan teknologi dapat diakses secara cepat dan merata. Sesuatu yang justru masih menjadi kemewahan di sebagian besar wilayah Sumba.
Kuliah menjadi momen besar bagi Umbo Ino untuk berkembang. Selain mengenyam pendidikan, dirinya juga sengaja menjalin relasi dengan seluas-luasnya.
Tak hanya itu, Umbu Ino juga harus rela bekerja serabutan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Umbu Ino sangatlah menyadari kalau hidupnya jauh dari modal materi yang besar.
Namun dirinya sangat meyakini kalau ide, tekad, dan keberanian yang dimiliki justru menjadi modal penting untuk membawa perubahan besar bagi kampung halamannya.
2020 menjadi tahun yang membawa Umbo Ino pulang ke tanah kelahirannya. Keputusan tersebut diambil setelah ia melihat kondisi daerah pelosok yang belum banyak berubah. Tanpa waktu lama, Umbu Ino memutuskan untuk bergerak. Sehari-hari dirinya mengidentifikasi kebutuhan masyarakat, menganalisis data, dan menghubungi para mitra.
Bersama sejumlah temannya, Umu Ino menginisiasi sebuah gerakan bernama Menyapa Sumba, sebuah komunitas yang lahir dari kepedulian bukan kelimpahan.
Di bidang literasi, mereka sengaja meluangkan waktunya untuk mengajarkan anak-anak tidak hanya di ruangan kelas, tapi di alam terbuka. Komunitas social ini juga mendirikan taman baca agar anak-anak memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap keindahan dunia yang selama ini tidak pernah mereka ketahui.
Di sektor kesehatan, Umbu Ino Bersama komunitasnya melakukan sejumlah kegiatan mulai membangun sanitasi air bersih, mengajarkan pola hidup sehat, serta melakukan edukasi pencegahan malaria. sebuah penyakit yang justru masih menjadi ancaman nyata di wilayah tersebut.
Bagi sebagian orang, langkah-langkah kecil yang Umbo Ino lakukan mungkin terlihat tampak sederhana, namun dampaknya justru sangat nyata bagi kehidupan masyarakat.
Semangat Umbu Ino tidak pernah padam. Melalui pagelaran festival budaya, komunitas ini mendorong masyarakat untuk kembali merawat identitasnya.
Umbu Ino meyakini kalau kearifan lokal seperti tarian, tenun, hingga cerita leluhur menjadi daya tarik utama yang tak tergantikan.
Kisah Umbu Ino dapat menjadi pesan kuat dan berharga bagi anak muda bahwa keterbatasan materi bukanlah alasan utama untuk diam. Dengan ide, kepedulian, dan kolaborasi, generasi muda bisa berkontribusi tanpa harus menunggu sukses, karena sebuah perubahan besar lahir dari mereka yang memilih untuk mulai meskipun dari tempat yang paling sederhana.