Zein Zahiratul Fauziyyah • 20 September 2025 09:20
Jakarta: Pada 7 Januari 1965, Indonesia mencatat sejarah sebagai satu-satunya negara di dunia yang pernah keluar dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keputusan itu diumumkan langsung oleh Presiden Soekarno, di tengah memanasnya konfrontasi Indonesia-Malaysia. Langkah ini tidak hanya mengejutkan dunia internasional, tetapi juga menegaskan sikap keras Soekarno terhadap lembaga global tersebut.
Latar Belakang Ketidakpuasan Soekarno terhadap PBB
Sejak awal, Soekarno tidak sepenuhnya setuju dengan keberadaan PBB. Ia menilai organisasi internasional itu tidak netral karena markas besarnya berada di New York,
Amerika Serikat, yang saat itu terlibat dalam Perang Dingin melawan Uni Soviet.
Menurut
Soekarno, penempatan markas di wilayah blok Barat menunjukkan keberpihakan PBB. Ia bahkan pernah menyarankan agar markas PBB dipindahkan ke wilayah netral, seperti Jenewa, Afrika, atau Asia. Selain itu, posisi sekretaris jenderal yang hampir selalu dikuasai oleh orang Barat semakin memperkuat penilaian bahwa kebijakan PBB lebih condong pada kepentingan negara-negara maju.
Malaysia sebagai Pemicu Utama
Ketidakpuasan itu mencapai puncaknya ketika PBB berencana memasukkan
Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB pada 1964. Saat itu, Indonesia tengah berkonfrontasi dengan Malaysia yang baru saja membentuk Federasi Malaya bersama Sabah, Sarawak, Borneo Utara, dan Singapura.
Bagi Soekarno, pembentukan federasi itu dianggap sebagai proyek
kolonialisme baru Inggris yang mengancam eksistensi Indonesia. Ia menilai Malaysia bisa dijadikan pangkalan militer Barat di Asia Tenggara dan berpotensi mengganggu stabilitas kawasan.
Pada 1 Desember 1964, perwakilan Indonesia di PBB sudah lebih dulu menyampaikan peringatan, Jika Malaysia tetap diterima, Indonesia akan keluar dari PBB. Ancaman itu akhirnya benar-benar diwujudkan ketika Malaysia resmi masuk sebagai anggota
Dewan Keamanan pada 7 Januari 1965. Pada hari yang sama, Soekarno mendeklarasikan Indonesia keluar dari PBB, yang kemudian diperkuat dengan surat resmi Menteri Luar Negeri Soebandrio pada 20 Januari 1965.
Dampak Pengunduran Diri Indonesia
Keputusan itu membuat Indonesia juga menarik diri dari berbagai badan khusus PBB, seperti
UNESCO dan WHO. Konsekuensinya, Indonesia kehilangan bantuan internasional hingga 50 juta dolar AS. Meski demikian, PBB tidak bisa berbuat banyak karena tidak ada aturan yang secara jelas mengatur mekanisme pengunduran diri sukarela suatu negara.
Selama 18 bulan, Indonesia tidak tercatat sebagai anggota PBB. Baru pada 29 September 1966, di era Presiden Soeharto, Indonesia kembali bergabung dengan organisasi internasional tersebut.
Filipina Hampir Mengikuti Jejak Indonesia
Sikap tegas Indonesia sempat mendapat simpati dari
Filipina. Negara itu juga mengecam pembentukan Federasi Malaysia, bahkan mengklaim wilayah Sabah sebagai bagian dari Kesultanan Sulu. Meski demikian, Filipina tidak sampai benar-benar keluar dari PBB.
Puluhan tahun kemudian, pada 2016, Presiden Filipina Rodrigo Duterte sempat melontarkan ancaman serupa. Ia marah setelah PBB mengkritik kebijakan perang melawan narkoba yang dianggap melanggar
hak asasi manusia. Duterte bahkan sempat menyebut kemungkinan membentuk organisasi internasional tandingan. Namun, pernyataan itu kemudian diluruskan oleh Menteri Luar Negeri Filipina, yang menegaskan bahwa negara tersebut tetap berkomitmen menjadi anggota PBB.
Menurut Sobat
MTVN Lens, keputusan Soekarno waktu itu keluar dari PBB adalah langkah berani melawan ketidakadilan, atau justru merugikan Indonesia di mata dunia?
Jangan lupa saksikan
MTVN Lens lainnya hanya di Metrotvnews.com.