2 August 2023 23:43
Sebuah Undang-undang yang digugat ke Mahkamah Konstitusi diasumsikan oleh penggugat memiliki cacat konstitusional, sehingga perlu dikoreksi dengan sebuah uji materi ataupun uji formil. Artinya, para pembuat undang-undang tersebut dianggap lalai atau mengesampingkan konstitusi.
Dalam sebuah gugatan UU, penggugat merupakan pihak yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya, sedangkan pembuat UU yakni pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat merupakan pihak tergugat yang dianggap salah dalam membuat UU.
Biasanya, dalam situasi normal, pihak tergugat akan mempertahankan produk legislasinya. Namun, dalam gugatan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum terkait batas usia capres dan cawapres yang membatasi usia minimal 40 tahun, pihak tergugat malah setuju dengan penggugat.
Situasi yang membuat hakim konstitusi juga ikut terheran-teran. Artinya ada kondisi yang tidak biasa dalam gugatan uji materi batas usia capres/cawapres tersebut.
Dalam pemeriksaan perkara kasus tersebut, DPR yang diwakili Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Partai Gerindra, Habiburokhman dan Menkumham Yasonna H Laoly dan Mendagri Tito Karnavian yang bertindak atas nama Presiden RI Joko Widodo kompak memberi sinyal setuju agar batas minimal usia capres dan cawapres turun ke 35 tahun.
Dalam keterangan yang dibacakan oleh Staf Ahli Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Togap Simangunsong, di hadapan sidang, menyatakan batasan usia minimum capres-cawapres merupakan sesuatu yang adaptif dan fleksibel, sesuai perkembangan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, sesuai kebutuhan penyelenggaraan ketatanegaraan.
Jalannya persidangan MK soal batas usia capres ini berjalan seirama, tanpa suara kontra dari pembuat undang-undang sebagai pihak tergugat. Seakan DPR dan pemerintah turut berhasrat menurunkan batas usia minimal capres/cawapres menjadi 35 tahun, namun malu-malu kucing.
Yang membuat semakin heran, jika DPR dan pemerintah setuju usia capres/cawapres 35 tahun, silakan saja UU Pemilu direvisi melalui proses legislasi di DPR. Jangan malah melempar bola panas ke tangan hakim konstitusi.
Jangan salahkan publik apabila melihat uji materi usia capres/cawapres ini sebagai peristiwa politik tidak biasa. Yakni untuk melanggengkan peluang putra sulung Jokowi, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, yang disebut tengah dipersiapkan untuk berkonstestasi di Pilpres 2024.
Gibran yang lahir pada 1 Oktober 1987 akan berusia 35 tahun saat kontestasi Pilpres 2024 dimulai.
Namun, tudingan demi Gibran dibantah para penggugat, baik itu dari pihak Partai Solidaritas Indonesia ataupun Partai Garuda serta kader Partai Gerindra. Menurut mereka gugatan itu demi memberikan peluang sama calon pemimpin muda.
Namun, dalam konteks Pilpres 2024, tidak ada sosok lain berusia di kisaran 35 tahun yang santer namanya disebut sebagai kandidat selain Gibran. Oleh sejumlah partai politik maupun relawan politik, Gibran santer terdengar untuk maju di kontestasi pilpres tahun depan.
Yang jelas, rakyat berharap Mahkamah tidak terbawa orkestrasi narasi pemangkasan batas usia minimal capres/cawapres ini. Pasalnya, soal batas usia adalah kewenangan pembuat UU dengan proses legislasi panjang yang disertai kajian yang matang.
MK juga akan menabrak norma dan etika konstitusional jika memutuskan batas minimal umur capres-cawapres turun menjadi 35 tahun. Hukum jangan dipermainkan hanya untuk menjadi gong dalam orkestrasi demi melanggengkan dinasti politik kekuasaan. Hukum jangan untuk kepentingan jangan pendek, melainkan membangun negara hukum yang kukuh demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.