18 November 2025 09:40
SEBELUM ada program BPJS Kesehatan yang diluncurkan pada 1 Januari 2014, ungkapan 'orang miskin dilarang sakit' menjadi ungkapan satir yang lekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Ya, biaya berobat yang teramat mahal membuat tiap orang 'wajib' menghindarkan diri dari penyakit, apalagi orang tak mampu. Kalau sudah sakit, mau bayar pakai apa? Buat makan sehari-hari saja paspasan.
'Tidak boleh sakit', jelas sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Belum pernah ada manusia di dunia ini yang sepanjang hidup mereka tidak pernah sakit, sehebat apapun orang menjaga kesehatan mereka.
Namun, setelah ada BPJS Kesehatan, kini setiap orang 'boleh sakit', meski semua berharap sehat wal afiat. Program itu menghilangkan dikotomi kaya-miskin, yang ada ialah orang sehat ramai-ramai urunan bulanan lewat iuran untuk membiayai orang sakit yang sedang berobat. Konsepnya terbilang mulia, apalagi iuran bulanannya pun terbilang murah.
Meski begitu, faktanya, pelaksanaan program itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Lembaga pengelola BPJS Kesehatan tiap bulan masih ngosngosan karena tidak setiap orang mau membayar iuran itu.
Minimnya pemahaman masyarakat akan pentingnya antisipasi terhadap datangnya sakit menjadi penyebab utamanya. Sedia payung sebelum hujan belum menjadi pegangan oleh banyak orang.
Sulitnya mengajak orang sehat untuk beramai-ramai urunan membiayai orang sakit membuat keuangan negara lagi-lagi harus dikuras. Memang, sudah jadi tugas negara untuk menjamin kesehatan warganya. Namun, tak pedulinya banyak orang kian memperumit keadaan.
Keadaan menjadi semakin rumit saat orang yang berkemampuan finansial mumpuni juga ingin ikut merasakan fasilitas BPJS Kesehatan. Alhasil, warga sehat yang di negeri ini didominasi oleh masyarakat kelas menengah ke bawah harus urunan membiayai si kaya yang sedang sakit.
Baca Juga :