Terus bertambah. Itulah daftar panjang kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum. Kali ini, publik dibuat geram karena dugaan suap datang dari orang yang seharusnya menjadi simbol keadilan, seorang hakim.
Hingga siang ini, 14 April, pencarian terkait kasus 'suap hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan' tercatat menembus lebih dari 2.000 pencarian. Masyarakat seolah tak habis pikir. Bagaimana bisa, hakim yang seharusnya mengadili kasus korupsi. Justru ikut terlibat dalam praktik kotor tersebut?
Yang menjadi sorotan utama adalah Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta. Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung atas dugaan menerima suap senilai Rp60 miliar dalam penanganan perkara korupsi ekspor minyak goreng. Uang tersebut diberikan untuk menjatuhkan vonis lepas kepada tiga perusahaan besar: Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Grup.
Yang bikin lebih tercengang, uang haram itu tak dinikmati sendiri. Rp22,5 miliar dibagikan kepada tiga hakim lainnya: Djuyamto dari PN Jaksel, serta Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom dari PN Jakarta Pusat.
Total tersangka dalam kasus ini ada tujuh orang, termasuk hakim, panitera, hingga advokat. Saat penggeledahan, penyidik Kejagung menemukan barang bukti yang tak main-main: uang tunai dalam mata uang asing, sepeda, motor, hingga mobil mewah.
Terbongkarnya kasus ini berawal dari pengembangan kasus suap lain di Pengadilan Negeri Surabaya. Dari sanalah benang merah keterlibatan para hakim ini mulai terurai. Penanganan perkara korupsi yang seharusnya menjadi bagian dari upaya pemberantasan, malah jadi ajang tawar-menawar demi kepentingan pribadi.
Kini, penyidik masih memeriksa lebih lanjut peran dari masing-masing tersangka. Dari 14 saksi yang sudah diperiksa, tujuh orang ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rutan Salemba cabang Kejagung selama 20 hari ke depan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum)
Harli Siregar mengatakan bahwa penyidik kini tengah fokus mendalami peran masing-masing tersangka. Pemeriksaan lanjutan pun dilakukan untuk mematangkan proses pemberkasan. Apalagi, keterangan dari para saksi sebelumnya membuka ruang untuk penelusuran yang lebih dalam.
"Sudah ada 14 saksi yang diperiksa ya dan dari 14 itu sudah ditetapkan tujuh. Bahkan, sudah dilakukan penahanan terhadap para tersangka saat ini. Penyidik tentu sedang fokus dalam rangka melihat peran-peran dari ketujuh ini, jadi istilahnya bagi kami mematangkan sisi pemberkasan atau penelitian terhadap peran dari setiap tersangka," ujar Harli Siregar dikutip dari
Newsline Metro TV pada Selasa, 15 April 2025.
Selain itu,
Komisi Yudisial (KY) pun angkat bicara. Mereka menyatakan keprihatinan mendalam atas tercorengnya wibawa lembaga peradilan. KY sudah menerjunkan tim untuk menelusuri dugaan pelanggaran kode etik para hakim.
"Atas nama kelembagaan saya menyampaikan bahwa KY sangat menyayangkan dan prihatin sekali terhadap peristiwa tersebut. Oleh karena itu, KY menggunakan inisiatifnya untuk menerjunkan tim dalam menelusuri dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. Tim juga akan mengumpulkan informasi dan keterangan terkait kasus tersebut," ucap juru Bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata.
Sebagai langkah pembenahan,
Mahkamah Agung (MA) berencana menggunakan teknologi robotik dalam aplikasi Smart Majelis—untuk menunjuk hakim dalam sebuah perkara secara otomatis. Harapannya, bisa meminimalisir praktik lobi-lobi di ruang gelap.
Pakar TPPU Yenti Garnasih menyebut, Indonesia sedang berada dalam titik nadir penegakan hukum. Bukan hanya karena praktik suapnya, tapi karena pelakunya adalah mereka yang diberi kepercayaan untuk mengadili perkara korupsi. Ia bahkan menyebut kondisi ini sebagai darurat moral penegak hukum.
"Peradilan pidana korupsi itu sangat gelap gurita, luar biasa menyedihkan dan ini beruntun loh dalam setengah tahun itu terus-terusan ada seperti ini. Masa iya kita akan hanya menangani sekedar dengan robot-robot itu juga ada pengendali, ada pengendalinya. Pengendali pasti manusia, nanti akhirnya (percuma) jangan percaya dengan seperti itu. Masih ada orang, ada manusia, jadi yang harus diperbaiki adalah mental manusianya.
Moral korup dari para penegak hukumnya," tegas Yenti Garnasih.
(Tamara Sanny)