Sejarah Pacu Jalur, Festival Balap Perahu dari Riau yang Kini Mendunia

9 July 2025 18:28

Jakarta: Belakangan ini, salah satu tradisi budaya Indonesia mendadak viral di dunia internasional. Bukan soal makanan atau musik, tetapi sebuah festival balap perahu tradisional dari Riau yang dikenal dengan nama Pacu Jalur. 

Popularitasnya melejit setelah tarian seorang bocah bernama Rayyan Arkha Dhika atau Dika menarik perhatian publik. Gerakan luwes dan ekspresifnya bahkan ditirukan oleh pesohor dunia, mulai dari bintang NFL Travis Kelce, Rapper KSI, pemain Paris Saint-Germain (PSG), hingga maskot AC Milan.

Di dalam negeri, Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka pun turut merayakan momen ini dengan mengunggah video dirinya menirukan tarian khas Dika.

Fenomena ini menjadi bukti kuat bagaimana budaya lokal Indonesia bisa menjadi bagian dari diplomasi budaya global di era digital. 

Namun, di balik viralnya tarian tersebut, ada kisah panjang yang membentuk eksistensi Pacu Jalur sebagai warisan budaya. Berikut penelusuran lengkapnya.
 

Baca Juga: Jaga Identitas Bangsa, Generasi Muda Didorong Lebih Mencintai Kebudayaan

Asal Usul Pacu Jalur

Pacu Jalur berasal dari Kuantan Singingi, Riau, dan telah ada sejak abad ke-17. Dalam bahasa setempat, “jalur” merujuk pada perahu tradisional berukuran panjang yang digunakan oleh masyarakat sepanjang Sungai Kuantan sebagai sarana transportasi utama. Perahu ini difungsikan untuk keperluan sehari-hari, seperti mengangkut hasil bumi seperti pisang, tebu, dan barang-barang dagangan lainnya.

Yang menarik, proses pembuatan perahu jalur bukan perkara sembarangan. Kayu besar untuk bahan perahu dipilih dari hutan belantara setelah melewati proses ritual, sebagai bentuk penghormatan dan permohonan izin kepada alam. Nilai-nilai kearifan lokal dan spiritualitas menjadi bagian penting dari tradisi ini.

Dari Alat Angkut Menjadi Simbol Status Sosial

Seiring waktu, jalur mulai dihias dengan berbagai ornamen artistik. Ukiran berbentuk kepala ular, buaya, atau harimau menghiasi bagian lambung dan ujung perahu. Tak jarang pula dilengkapi payung, selendang, tali-temali, dan gulang-gulang (tiang tengah). Hal ini menjadikan jalur sebagai simbol status sosial, yang kala itu hanya boleh dinaiki oleh kaum bangsawan atau tokoh adat.

Awal Mula Lomba Pacu Jalur

Sekitar abad ke-18, masyarakat mulai mengadakan perlombaan balap jalur untuk merayakan hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi atau Idul Fitri. Pada masa kolonial Belanda, lomba ini dialihfungsikan untuk memeriahkan perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina setiap 31 Agustus. Setelah Indonesia merdeka, Pacu Jalur menjadi ajang tahunan dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, dan hingga kini rutin diselenggarakan setiap bulan Agustus.

Struktur dan Peran dalam Pacu Jalur

Festival Pacu Jalur bukan hanya soal kecepatan, tetapi juga soal kerja sama dan seni pertunjukan. Satu perahu jalur bisa diisi hingga 60 orang, dan masing-masing peserta memiliki peran khusus:
  • Tukang concang: komandan tim yang memberikan aba-aba.
  • Tukang pinggang: pengendali arah alias juru mudi.
  • Tukang onjai: pemberi irama yang menggoyangkan badan agar perahu tetap stabil.
  • Tukang tari/anak coki: penari cilik di bagian depan perahu, yang menjadi ikon visual dalam setiap pertandingan.
Tonton Juga: Keris Milik Presiden Prabowo Dipamerkan di Festival Gau Maraja

Dika, si anak coki inilah yang akhir-akhir ini jadi sorotan publik karena gerakannya yang atraktif dan penuh semangat. Saat tim mereka unggul dan mencapai garis finis, mereka sering langsung melakukan sujud syukur di ujung perahu. Pemandangan tersebut menyentuh sekaligus menggetarkan hati penonton.

Budaya Lokal yang Mendunia Lewat Digital

Fenomena viralnya tarian Dika memperlihatkan kekuatan konten budaya di era digital. Tarian sederhana ini membawa pesan kuat tentang semangat, kebersamaan, dan identitas budaya Indonesia. Pacu Jalur kini bukan hanya menjadi milik masyarakat Kuansing, tetapi telah mewakili wajah Indonesia di panggung budaya global.

Seperti yang disampaikan Wapres Gibran, “Inilah kekuatan diplomasi budaya di era digital di mana konten mampu menjadi jembatan, memperkenalkan kearifan lokal Indonesia ke mata dunia.”

Sobat MTVN Lens, Pacu Jalur adalah lebih dari sekadar perlombaan perahu. Ia adalah manifestasi budaya, kearifan lokal, spiritualitas, dan semangat gotong royong yang telah diwariskan turun-temurun selama berabad-abad. Kini, berkat era digital, ia bertransformasi menjadi duta budaya yang membawa nama Indonesia ke panggung dunia.

Jika Pacu Jalur saja bisa mendunia karena kekuatan konten budaya, menurut kamu, tradisi Indonesia apa lagi yang layak dikenal oleh dunia internasional?

Jangan lupa tonton MTVN Lens lainnya hanya di Metrotvnews.com.

(Zein Zahiratul Fauziyyah)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Christian Duta Erlangga)