30 April 2024 23:14
KEBERANIAN Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) kembali diuji. Ketegasan mereka sebagai penegak etika dan moral di lembaga antirasywah itu dipertaruhkan dalam menghadapi perlawanan salah satu komisioner, yakni Nurul Ghufron.
Gufron menjadi sasaran Dewas karena diduga cawe-cawe di ranah yang sama sekali tak terkait dengan tugas dan kewenangannya sebagai pimpinan KPK. Dia diduga ikut terlibat dalam proses mutasi pegawai di Kementerian Pertanian.
Dia diyakini telah menyelewengkan jabatan sekaligus memperdagangkan pengaruh dengan meminta seorang pegawai Kementan di Jakarta dipindahkan ke Malang, Jawa Timur.
Teramat sulit dicerna akal sehat seorang komisioner KPK ikut campur urusan kepegawaian sebuah kementerian. Sangat sukar diterima nalar, seseorang yang punya kekuasaan begitu besar begitu mudahnya mengurusi urusan yang bukan urusannya.
Kalau kemudian Dewas menduga ada pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ghufron, itu wajar, sangat wajar. Jika ada yang meyakini langkah konyol Ghufron ada apa-apanya, ada sesuatu di baliknya, itu juga normal, sangat normal.
Yang tidak wajar, yang tidak normal, ialah alih-alih menyadari kekeliruan lalu meminta maaf, Ghufron malah melawan. Dia melaporkan anggota Dewas KPK Albertina Ho ke Dewas atas dugaan penyalahgunaan kewenangan karena meminta hasil analisis transaksi keuangan mantan jaksa KPK, Taufik Ibnugroho. Menurut Dewas, langkah Albertina itu bukan atas nama pribadi tapi atas nama Dewas dalam rangka pengusutan pelanggaran etik terhadap Taufik yang diduga memeras saksi.
Belum cukup, Ghufron juga melaporkan Dewas ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalihnya, Dewas menyalahgunakan wewenang karena mengusut kasus dirinya yang terjadi Maret 2022 dan sudah kedaluwarsa.
Begitulah, para unsur pimpinan di tubuh KPK yang semestinya berkolaborasi memberangus korupsi malah berkelahi. Begitulah, pimpinan KPK yang seharusnya patuh pada upaya penegakan etika, justru melawan dengan segenap tenaga.
Apa pun alasannya, menyalahgunakan kewenangan adalah kesalahan. Apa pun dalihnya menjual pengaruh adalah kekeliruan. Apalagi bagi komisioner KPK yang punya kekuasaan luar biasa untuk memengaruhi pejabat dan penyelenggara negara lainnya.
Tidak ada tempat di KPK bagi pemimpin berjenis itu. Integritas adalah syarat utama bagi seluruh insan KPK, apalagi para pimpinannya. Bersih serta memuliakan etika dan moral adalah kriteria utama. Tidak ada toleransi bagi mereka yang tuna integritas dan cacat etika. Siapa pun dia, terlebih para komisionernya.
Oleh karena itu, sebagai penjaga etika dan moral di KPK, Dewas yang mulai bersidang, lusa, pantang ciut nyali dalam upaya menindak Ghufron. Anggap aja perlawanan Ghufron sebagai penambah semangat, suntikan energi, untuk bertindak lebih tegas, lebih berani. Anggap saja Ghufron sedang menempuh rupa-rupa jalan untuk menyelamatkan diri. Anggap saja pula Ghufron ibarat orang yang panik karena tenggelam sehingga jerami yang mengapung sekalipun dijadikan pegangan.
Citra KPK sangat tidak baik-baik saja. KPK terjerembab ke jurang ketidakpercayaan karena tangan-tangan kotor orang dalam. Menindak tegas pimpinan seperti Ghufron jika terbukti bersalah adalah salah satu kemestian untuk memulihkan kredibilitas KPK. Tak cuma hukuman etik oleh Dewas, sanksi pidana seharusnya juga menjadi opsi. Bukankah memperdagangkan pengaruh merupakan cabang dari pohon sialan bernama korupsi?