Bedah Editorial MI - Merusak Hutan Tuai Malapetaka

2 December 2025 08:33

Bencana banjir bandang dan tanah longsor di Sumatra menghentak dengan jumlah korban tewas dan hilang menembus 800 jiwa. Wilayah yang terdampak parah begitu masif, meliputi tiga provinsi, yaitu Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, yang mencakup setengah Pulau Sumatra.

Yang turut membuat kita terperangah, kayu-kayu gelondongan dalam jumlah besar ikut menjadi bagian dari sapuan air bah yang mematikan. Kementerian Kehutanan buru-buru mengungkapkan bahwa kayu-kayu tersebut merupakan pohon yang lapuk atau tumbang alami. Pun, disebut sumbernya bisa berasal dari aktivitas legal maupun ilegal.

Penyataan itu terkesan ingin mengecilkan kemungkinan sebagian besar kayu gelondongan yang terseret banjir bandang merupakan hasil pembalakan hutan. Soal ilegal atau bukan, di negeri ini yang namanya kegiatan ilegal pun bisa dilegal-legalkan. Tinggal keluarkan izin, penebangan ilegal atau yang merusak lingkungan bisa dengan mudah disulap menjadi legal.

Lebih parah lagi ketika alih fungsi hutan mendapatkan payung hukum perundang-undangan yang mengatasnamakan pembangunan. Aktivis lingkungan menyoal Pasal 38 Undang-Undang No 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan yang membuka ruang pemanfaatan kawasan hutan lindung, bahkan untuk kegiatan penambangan.

Itu diperkuat dengan Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memberikan ruang kegiatan yang disebut perhutanan sosial. Pada Pasal 29A ayat (1) dan (2) disebut pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi dapat dilakukan dengan kegiatan perhutanan sosial oleh perseorangan, kelompok tani hutan, dan koperasi.
 

Baca juga: Pakar UGM Sarankan Perbaikan Vegetasi Hutan Atasi Bencana di Aceh dan Sumatra

Berbeda dengan analisis pandangan mata Kemenhut, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatra Barat membeberkan hasil analisis citra satelit Maxar periode Juni 2021-Juli 2025. Potret yang diambil oleh satelit tersebut menunjukkan aktivitas aktif penebangan di wilayah yang bersinggungan dengan kawasan suaka margasatwa, hutan lindung, dan kawasan konservasi.

Wilayah yang ditebangi mencapai ratusan ribu hektare. Meski bolak-balik bencana banjir dan tanah longsor menerjang, menurut analisis Walhi, aktivitas penebangan hutan itu masih terus aktif hingga pencitraan terbaru satelit pada Juli 2025. Periode citra satelit yang menjadi rujukan Walhi kebetulan sekali diambil seiring dengan berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja.

Tidak berlebihan kiranya ketika muncul narasi bahwa alih fungsi hutan telah dinormalisasi demi kepentingan ekonomi. Bencana demi bencana dianggap angin lalu, dipandang sebagai sekadar musibah yang tidak bisa dihindari. Paling-paling sesaat muncul pernyataan-pernyataan komitmen untuk memperbaiki lingkungan, tetapi terlupakan setelah bencana berlalu.

Banyaknya korban jiwa dalam bencana banjir bandang dan tanah longsor di Sumatra membuktikan bahwa kewaspadaan, peringatan, dan kesiapsiagaan negeri ini dalam menghadapi potensi bencana masih sangat rendah. Banyak yang masih memandang remeh beragam peringatan alam tentang ancaman bencana, termasuk memandang sebelah mata bahaya alih fungsi lahan secara ugal-ugalan.

Kerusakan ekologis sudah sangat nyata terjadi secara masif. Bencana besar yang merenggut korban mendekati seribu jiwa kali ini mestinya sudah bukan lagi alarm, melainkan tamparan sangat keras. Tidak hanya untuk wilayah Sumatra, tetapi juga seluruh wilayah negeri ini.

Perbaikan harus segera dilakukan hingga ke level kebijakan paling atas. Regulasi pemanfaatan hutan lindung mesti diperketat. Bahkan, perlu dibuat aturan yang memungkinkan menambah area hutan lindung, alih-alih menggerusnya.

Pengelolaan alam memerlukan kearifan agar keseimbangan ekologis tetap terjaga. Tanpa itu, kedatangan malapetaka lebih besar lagi bakal menjadi keniscayaan. Kita pasti tidak menginginkan itu terjadi.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Anggie Meidyana)