Hingga Selasa (2/9), bertambah organisasi dan kelompok masyarakat yang membatalkan rencana ikut demonstrasi besar-besaran yang sedianya akan digelar hari ini. Di sejumlah kota, aliansi mahasiswa dan kelompok masyarakat membatalkan aksi demi situasi kondusif.
Namun ada juga yang tetap melanjutkan rencana demo dengan alasan tertentu. Di Jakarta, misalnya, ada Aliansi Perempuan Indonesia yang tetap akan menggelar aksi simpatik di depan Gedung DPR. Selain berbusana yang melambangkan kekuatan perempuan, para peserta aksi sekitar 300 perempuan bakal membawa sapu lidi sebagai simbol bersih-bersih ‘kotoran negara’.
Berdemonstrasi atau tidak, itu adalah hak rakyat. Toh rakyat kita sudah dewasa yang mestinya bisa memilah mana aksi yang ditujukan untuk mengekspresikan pendapat dan mana yang hanya untuk mencari rusuh. Rakyat sejati tidak mencari rusuh. Rakyat sejati paham pentingnya situasi damai karena di situ pula penghidupan mereka.
Karena itu amatlah wajar bila di daerah yang baru saja membara, rakyat rela membatalkan aksi. Di lain tempat, saat aksi tetap ingin dijalankan, mereka melakukannya dengan simpatik.
Dengan kata lain, seruan menahan diri benar-benar telah dipatuhi rakyat, meski berbagai tuntutan dari demo selama dua minggu ini belum ada yang betul-betul dipenuhi. Rakyat sesungguhnya sabar. Rakyat menunggu dan melihat upaya solutif pemerintah. Bahkan, rakyat juga bersabar dengan proses hukum terhadap tujuh anggota Brimob penabrak driver ojol Affan Kurniawan.
Rakyat sejatinya adalah pihak terdepan yang tidak ingin adanya kekacauan. Rakyat dengan kesadaran kolektif tidak ingin kekacauan itu menjadi pintu masuk ditetapkannya darurat militer, seperti pesan yang bergaung di media sosial akhir-akhir ini.
Maka ketika rakyat telah menjalankan bagiannya, mestinya hal yang sama juga dilakukan aparat, pemerintah, termasuk Presiden. Terkait dengan aparat, kita sangat memahami dan juga mengapresiasi tindakan mereka dalam mengamankan orang-orang terduga provokator dan anarki. Mereka yang kedapatan membawa senjata tajam dan bom patut dicurigai bukan rakyat sejati dan sepantasnya diamankan.
Namun aparat jelas belum dapat dikatakan menahan diri. Kasus tewasnya mahasiswa Amikom Yogyakarta, Rheza Sendy, dan mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) Iko Juliant Junior dengan penuh luka, meskipun harus dibuktikan, boleh jadi menunjukkan bahwa pola-pola represif aparat dalam penanganan unjuk rasa masih dilakukan.
Kepolisian juga menangkap Direktur Lokataru Delpero Marhaen dengan tuduhan telah menghasut pelajar untuk mengikuti demonstrasi. Tuduhan itu juga harus dibuktikan betul karena bila tidak, hal ini justru berpotensi membuat masyarakat yang sudah menahan diri bakal tersulut lagi. Tentu hal seperti ini tidak kita inginkan.
Karena itu, sekali lagi saatnya kita semua berkaca pada rakyat. Dengan segala keterbatasannya, rakyat telah menunjukkan kemampuannya untuk bertahan dan menahan diri. Tidak sepantasnya menuntut lebih jauh pada rakyat, sebelum yang mengemban amanat memenuhi hal yang sama.
Menciptakan situasi kondusif adalah tanggung jawab bersama. Sudah saatnya semua pihak sama-sama menjaga diri, menahan diri, sembari melakukan evaluasi, koreksi dan perbaikan diri. Semua itu demi menjaga Indonesia.