Polda Metro Jaya menetapkan sejumlah tersangka yang menghasut masyarakat via media sosial. Hasutan tersebut dinilai mendorong pelajar dan anak-anak untuk ikut melakukan kerusuhan yang bisa membahayakan keselamatan mereka di lokasi unjuk rasa.
Penyebaran Konten Sosmed Provokatif
Mereka memiliki peran yang berbeda-beda. Mulai dari admin akun media sosial hingga menyampaikan tutorial membuat bom molotov dalam siaran langsung di media sosial yang banyak dilihat pelajar, termasuk membagikan lokasi-lokasi bom molotov yang sudah disiapkan untuk diambil peserta untuk ikut aksi unjuk rasa, termasuk pasangan suami-istri yang menjadi admin grup WhatsApp dan mengumpulkan masa terkait aksi penjarahan di rumah anggota DPR Sahroni.
Berawal dari Satgas Gakkum Anti Anarkis Polda Metro Jaya sedang melakukan monitoring terkait adanya aksi anarkis massatanggal 25 Agustus dan 28 Agustus 2025 yang diketahui dari beberapa akun di media sosial yang menyiarkan ajakan aksi anarkis dan ada yang melakukan live melalui akun media sosial dengan inisial T.
Aksi tersebut memancing masyarakat khususnya pelajar dan atau anak-anak sekolah untuk datang ke gedung DPR/MPR sehingga beberapa di antaranya melakukan pidana serta melakukan aksi anarkis berupa
pengrusakan, pembakaran terhadap fasilitas umum, kendaraan bermotor, kantor, gedung, dan sejumlah penjarahan yang terjadi juga di wilayah hukum Polda Metro Jaya.
Dua di antara tersangka tersebut adalah direktur utama dan staf Lokataru, sebuah organisasi nirlaba yang berfokus pada penguatan ruang sipil, ekonomi, dan pekerjaan yang demokratis serta hak asasi manusia (HAM). Lokataru dinilai melakukan kolaborasi dengan akun lainnya di Instagram dan menyebarkan ajakan serta penghasutan kepada pelajar melalui tagar dan postingan untuk melakukan tindakan anarkis.
"Admin akun Instagram bernama LF. Peran tersangka DMR adalah melakukan kolaborasi dengan akun-akun Instagram lainnya untuk menyebarkan ajakan agar pelajar jangan takut untuk aksi kita lawan bareng," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Ary.
Sementara itu Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyangkal tuduhan kepada Direktur Lokataru tersebut. KontraS menyebut Lokataru hanya mengunggah postingan informatif mengenai bantuan hukum untuk masyarakat yang ikut aksi pada Agustus 2025.
"Ya, kami bisa sangkal bahwa itu tidak benar sama sekali karena sebenarnya yang kemudian menjadi alat bukti untuk kemudian melakukan upaya penangkapan kepada direktur Lokataru itu adalah satu postingan yang sifatnya juga sifatnya informatif, yaitu pembuatan atau pembentukan posko bantuan hukum untuk masyarakat yang mengikuti aksi di tanggal 25 sampai dengan tanggal 29 Agustu begitu dan juga kemudian bantuan
terhadap anak-anak yang terancam KJP-nya itu dicabut," tutur Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya.
Sementara Ketua Indonesian Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santosa menyatakan jika polisi melakukan penangkapan terkait ITE biasanya sudah memiliki bukti yang kuat. Mulai 23 Agustus-3 September 2025 ditemukan setidaknya ada 592 akun dan juga konten di media sosial yang bernada provokatif dan juga mengajak
untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum.
Pola Kerja Buzzer di Dunia Maya
Sementara itu, data dari drone Emprit dari 30 Agustus hingga 4 September 2025 mencatat setidaknya ada 2.500 artikel dan juga 16 ribu sebutan di sosial media terkait dengan aksi demonstrasi. Hal itu juga termasuk ajakan-ajakan demonstrasi yang tidak jelas.
Contohnya postingan dari sebuah universitas yang seolah-olah mengajak aksi unjuk rasa. Padahal postingan itu bukan dari universitas tersebut. Jadi entah siapa yang membuat bernada provokasi, tidak jelas apa tujuannya atau tuntutannya, tidak jelas kapan akan dilaksanakan dan titik kumpulnya.
Tim Metro TV menemui lembaga pemantau media sosial Drone Emprit. Ternyata ada perbedaan cara kerja
buzzer (pendengung) di era kini.
"Ini agak berbeda ya kalau dibandingkan dengan yang sebelum-sebelumnya aksi demonstrasi sebelumnya kita ambil misalnya perbandingannya dengan Omnibus Law, kemudian KPK, ketika publik membela KPK itu kluster publik
gede. Kemudian kluster yang melawan KPK ada. Dan kemudian ketika Omnibus law juga sama
publik aktivis melawan Omnibus Law. Ada satu kluster besar influencers-nya kelihatan. Kemudian juga aktor-aktor pendukungnya buzer yang mengamplifikasi juga kelihatan sehingga ada dua kluster saling perang. Namun, sekarang enggak kelihatan," kata Direktur Eksekuti Drone Emprit.
Menurut analisis Drone Emprit, kontradiksi dan polarisasi dua kubu tampak sangat tipis atau hampir tidak ada dalam operasi buzzer dalam krisis kemarin.
"Jadi kebanyakan publik dari ada aktivis media, jurnalis, kemudian masyarakat umum yang kritis. Ada sih yang mendukung juga gitu. Tapi enggak kemudian ada pro dan kontra. Sehingga ketika ada demo-demo kayak tadi yang kemarin ya sebelum tanggal 25, 28, dan seterus-seterusnya kita enggak ada ini ada satu akun yang
benar-benar misalnya itu
clear membentuk satu kelompok melawan misalnya publik,"
"Ini yang ada adalah mereka adalah akun-akun kecil yang memberikan komentar, komentar ini, komentar itu dan seterusnya. Dan komentar-komentar itu ibaratnya itu
trooper ya. Mereka
followernya enggak banyak, meramaikan saja dan biasanya publik itu kan ngelihat ketika ada sebuah postingan hal berikutnya yang menarik adalah
komentar," ucapnya.
Tanggal 25 Agustus 2025 adalah saat di mana media sosial di Indonesia ini dipenuhi dengan cuitan tentang aksi demonstrasi. Terdapat 29.433 mention dengan total lebih dari 350 juta interaksi. Interaksinya paling banyak ada di TikTok kemudian diikuti oleh Twitter atau X.
Di media sosial ini ternyata tone-nya positif ada 67% sementara negatif ada 25%. Nada positif adalah persepsi bahwa DPR dianggap tidak sensitif atas kondisi rakyat, korupsi, pembubaran DPR. Sementara itu, nada negatif berisi konten-konten yang agenda dan inisiatornya tidak jelas. Ada juga konten negatif tentang aksi yang diduga ditunggangi.