Pakar hukum pidana Hibnu Nugroho meminta pemerintah hati-hati saat memulangkan terpidana mati Mary Jane ke Filipina. Ia menyampaikan jangan sampai pemerintah terjebak dalam suatu pidana transfer yang tidak imbang.
"Karena Pak Yusril tadi mengatakan kalau sudah sampai negaranya, bisa juga digrasi. Wah enak sekali kalau misal begitu. Ini saya kira harus cermat dalam pemindahan tersebut," kata Hibnu Nugroho dalam tayangan Metro Hari Ini, Metro TV, Kamis, 21 November 2024.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan hukuman Mary Jane menjadi kewenangan penuh kepala negara yang bersangkutan.
"Di dalam kasus Mary Jane itu dia dijatuhi hukuman mati di sini. Kalau dia sudah dikembalikan di Filipina nanti mungkin dibilang di sana dihukum mati juga. Filipina adalah negara yang sudah menghapuskan pidana mati di dalam KUHP mereka. Jadi mungkin saja kalau dia sudah dikembalikan ke Filipina adalah kewenangan dari Presiden Marcos untuk memberikan grasi," ungkap Yusril, baru-baru ini.
Hibnu mengungkap bahwa pemindahan terpidana ke negara asalnya merupakan suatu terobosan. Namun sebenarnya, hal ini telah tersirat dalam Undang-Undang Pemasyarakatan.
"Tersirat bagaimana transfer pemindahan kaitannya dengan narapidana. Ini yang jadi cukup menarik, yang cukup menariknya memang
Mary Jane ini sudah lama, yang dulu mau eksekusi mati, tidak menjadi mati," ucap Hibnu.
Pemindahan Mary Jane, kata Hibnu, adalah suatu kegigihan pemerintahan Filipina yang pada akhirnya ada konsep transfer narapidana. Ia berharap konsep ini tidak menjadi peristiwa buruk.
"Karena pidana mati narkotika itu banyak. Di Nusa Kambangan itu total pidana mati ada 200-an. Itu mahasiswa saya yang penelitian di sana. Kita lihat berapa yang pidana asing," ujarnya.
Kisah Mary Jane menjadi terpidana mati bermula ketika ia ditangkap di Bandar Udara Adisutjipto Yogyakarta pada April 2010. Ia kedapatan menyelundupkan narkoba jenis heroin seberat 2,6 kg. Atas perbuatannya, pada Oktober 2010 majelis hakim Pengalilan Negeri Sleman memvonisnya dengan hukuman mati.
Dalam sejumlah kesaksiannya di pengadilan, Mary Jane mengaku sebagai korban perdagangan orang dan tak tahu menahu isi koper yang dibawanya ke Yogyakarta atas perintah majikannya saat bekerja di Kuala Lumpur, Malaysia.
Mary Jane juga sempat mengajukan grasi ke Presiden Joko Widodo pada 2014, namun ditolak. Tetapi, pelaksanaan eksekusi mati yang direncanakan berlangsung pada 2015 ditunda dan belum dilakukan hingga kini.