NEWSTICKER

Editorial Malam: Ujian Netralitas Penjabat Kepala Daerah

N/A • 5 September 2023 23:13

Sembilan penjabat gubenur resmi mulai bertugas menggantikan gubernur sebelumnya yang habis masa jabatannya per 5 September. Mereka telah dilantik Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, kemarin. 

Masih tersisa satu, yakni penjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) yang baru akan dilantik pada 19 September mendatang. Ini menyesuaikan masa jabatan Zulkieflimansyah yang baru berakhir pada tanggal tersebut.

Dari kesepuluh penjabat gubernur itu, tujuh di antaranya berasal dari pemerintahan pusat, sisanya merupakan sekretaris daerah provinsi. Kerja penjabat gubenur tidak mudah. Mereka harus memastikan roda pemerintahan dan pembangunan di daerah yang mereka pimpin berjalan lancar.

Tidak hanya itu, di pundak para penjabat ada tambahan beban mengawal penyelenggaraan Pemilu serentak 2024. Hajatan demokrasi tersebut meliputi pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota legilatif dan DPD, hingga pemilihan kepala daerah (pilkada)

Tantangan penyelenggaraan pemilu serentak dapat dibilang paling berat. 
Kerap kali godaan terbesar muncul dari dorongan atau tekanan untuk cawe-cawe mengarahkan warga ataupun aparatur daerah. 

Disebut godaan ketika arahan tersebut adalah untuk mendukung salah satu peserta pemilu. Seketika itu pula penjabat yang bersangkutan melanggar netralitas selaku aparatur sipil negara (ASN). 

ASN bisa menjadi tidak netral di saat kesetiaannya kepada penguasa mencuat melebihi kesetiaannya kepada negara. Padahal, mereka terikat sumpah jabatan yang pada intinya wajib memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya.

Asas netralitas ASN tertuang dalam Pasal 2 Undang-Undang (UU) No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan yang dimaksud dengan asas netralitas adalah  setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.

Dalam penyelengaraan pesta demokrasi, yang paling rawan terjadi adalah intervensi hasil pilpres dan pilkada. Dorongan untuk cawe-cawe bisa karena merasa berutang budi kepada yang memengaruhinya. Di sisi lain, tekanan dapat muncul oleh rasa takut atas nasib kariernya ke depan bila tidak menuruti kehendak penguasa atau calon penguasa.

Potensi pelanggaran netralitas menjadi semakin riil ketika tanpa ada faktor baru yang menimbulkan kemendesakan atau kegentingan, tiba-tiba bergulir rencana memajukan pelaksanakan pilkada. Dari semula sudah disepakati dan ditetapkan berlangsung pada 27 November 2024, dipercepat menjadi September atau dua bulan sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih.

Harus diakui yang paling rawan untuk diintervensi tidak hanya hasil pilpres, melainkan juga pilkada. Percepatan pelaksanaan pilkada tidak pelak memancing kecurigaan ada pihak-pihak yang ingin mendikte hasil pilkada.

Selain sembilan penjabat gubernur, ada 75 penjabat bupati/wali kota yang mulai bertugas per 5 September. Sebelumnya sudah ada 173 penjabat kepala daerah yang dilantik.

Nantinya, pada pelaksanaan Pilkada 2024, total ada 274 ASN penjabat kepala daerah yang mengisi kekosongan kepala pemerintahan di 274 kota, kabupaten, dan provinsi. Jumlah yang tidak main-main dan potensial diperalat untuk pemenangan pemilu. 

Kita perlu mengingatkan kembali agar para penjabat kepala daerah memegang teguh sumpah jabatan. Mereka wajib berbakti untuk masyarakat, nusa, dan bangsa, bukan untuk penguasa atau golongan tertentu.

Netralitas penjabat kepala daerah dan ASN secara keseluruhan akan menentukan kualitas hasil pemilu, hasil cawe-cawe ataukah menjunjung asas pemilu yang jujur dan adil.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Metrotvnews.com

(Silvana Febriari)