Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meminta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberhentikan sementara Ketua dan seluruh anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Gugatan ini muncul buntut tidak diberikannya akses bagi Bawaslu untuk mengawasi dokumen persyaratan bakal calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2024.
Dalam pengaduannya, pihak Bawaslu mengklaim KPU RI hanya memberikan akses sistem informasi pencalonan (silon) terbatas berupa nama bakal caleg, nomor urut, daerah pemilihan (dapil), dan partai politiknya, sementara objek pengawasan yang menjadi sasaran Bawaslu, termasuk dokumen persyaratan, seperti ijazah, surat keterangan dari pengadilan, dan lainnya.
Desakan Bawaslu kepada DKPP agar seluruh komisioner KPU diberhentikan dari tugasnya ini merupakan yang kesekian kalinya dialamatkan ke lembaga penyelenggara pemilu tersebut. Beberapa waktu lalu lalu, seluruh komisioner KPU diadukan kelompok masyarakat sipil dengan tuduhan relatif serupa.
Desakan mundur kepada Komisioner KPU dari lembaga Bawaslu seperti memberi sinyal ke publik bahwa penyelenggara pemilu sedang bertikai. Situasi itu tentu tidak logis. Sebab KPU, selain Bawaslu dan DKPP, merupakan lembaga penyelenggara yang posisinya sama dan harus mampu bekerja sama dengan baik menyukseskan jalannya pemilu.
Kalaupun ada konflik di antara ketiga lembaga ini, seharusnya masing-masing saling mengingatkan. Penyelesaian masalah pun didiskusikan secara internal di ketiganya. Eloknya, masyarakat sipil dan peserta pemilulah yang bisa menggugat eksistensi dan kinerja ketiga lembaga ini.
Terlepas dari ketidakakuran lembaga penyelenggara pemilu, gugatan terhadap KPU menunjukkan adanya ketidakberesan KPU dalam menyelenggarakan tahap pemilu. Walaupun publik boleh tidak bersepakat, KPU periode saat ini terkesan tidak transparan dalam menyelenggarakan tahapan pemilu. Padahal, transparansi merupakan salah satu prinsip pokok dalam menyelenggarakan pemilu yang adil dan demokratis.
Bisa dibayangkan bagaimana lembaga sekelas Bawaslu pun ternyata tidak bisa mengakses informasi yang dikeluarkan KPU. Apalagi, masyarakat sipil dan peserta pemilu yang merupakan ‘pihak luar’ dari penyelenggaraan pemilu.
Apalagi, beberapa putusan yang mengharuskan KPU menjalani aturan UU terkait penyelenggaraan pemilu ternyata tidak dijalankan dengan baik. Bahkan cenderung diabaikan.
Selain masalah data dan informasi mengenai caleg, publik tentu masih ingat KPU mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait cara penghitungan kuota minimal calon anggota legislatif (caleg) perempuan. Akibatnya, aturan KPU digugat sejumlah aktivis masyarakat sipil ke Mahkamah Agung (MA) dan kalah. KPU pun terpaksa merevisi aturan kuota minimal 30?leg perempuan.
Apabila kasus pengaduan terhadap komisioner ini terus terjadi, kredibilitas pemilu mendatang tentu bakal menjadi pertanyaan karena menunjukkan publik dan juga lembaga penyelenggara pemilu lain tidak percaya dengan proses yang dijalani KPU. Celakanya, ketidakpercayaan ini bisa berakibat konflik kekerasan karena peserta pemilu dan masyarakat tidak mempercayai hasil pemilu yang diselenggarakan KPU.
Konflik KPU dan Bawaslu semestinya tidak perlu terjadi. Sangat mengherankan apabila di antara mereka apalagi di level pusat memiliki pandangan berbeda yang tidak bisa diselesaikan dengan jalan musyawarah mufakat sehingga harus dibawa ke DKPP. Namun demikian, apa boleh buat, demi kepastian perilaku penyelenggara pemilu, kita menunggu putusan lembaga penegak etik tersebut.