12 November 2025 19:32
Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti-Teror Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) memastikan aksi peledakan yang terjadi di SMAN 72 Jakarta Utara bukan merupakan tindakan terorisme. Melainkan kasus kriminal murni yang dilakukan oleh seorang Anak Berkonflik Hukum (ABH) berinisial F.
Juru Bicara Densus 88, AKBP (Ajun Komisaris Besar Polisi) Mayndra Eka Wardhana, menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukan F dikategorikan sebagai Memetic Violence Daring. Istilah ini merujuk pada kekerasan yang terinspirasi dari konten di internet dan tidak terkait dengan jaringan terorisme.
AKBP Mayndra Eka Wardhana mengungkapkan bahwa Densus 88 telah melakukan pemeriksaan mendalam terhadap watchlist yang dimiliki terkait dengan jaringan teror, baik itu global, regional, maupun domestik. Dari hasil pemeriksaan tersebut, Densus 88 menyimpulkan bahwa tidak ditemukan adanya aktivitas terorisme yang dilakukan oleh ABH tersebut.
"Jadi, murni tindakan yang dilakukan adalah tindakan kriminal umum ya. Jadi, kalau di dalam komunitas kekerasan ini ada istilah memetic violence," tegas AKBP Mayndra Eka Wardhana, dikutip dari Prioritas Indonesia, Metro TV, Rabu, 12 November 2025.
Sebelumnya, dari penyelidikan, polisi menemukan bahwa F memiliki rasa dendam dan merasa tertindas di lingkungan sekolah maupun rumahnya. F diduga bergabung dalam komunitas daring yang membahas kekerasan ekstrem, serta sering menelusuri situs yang menampilkan cara kematian tragis dan kekerasan keji. Hasil analisis ini memperkuat kesimpulan penyidik bahwa tindakan F adalah kejahatan umum dan bukan tindakan terorisme.
Peristiwa ledakan di lingkungan SMAN 72 Jakarta, terjadi di dua lokasi yakni dalam masjid dan samping bank sampah, saat khotbah solat Jumat pada Jumat siang, 7 November 2025. Densus 88 Antiteror Polri menemukan tujuh bom di lokasi.
Sebanyak tiga di antaranya tidak meledak dan empat lainnya meledak di dua lokasi. Selain itu, polisi juga menemukan dua senjata mainan di lokasi ledakan. Akibat insiden ini, 96 orang luka-luka, termasuk pelaku.
Polisi menetapkan pelaku siswa berinisial F sebagai anak berkonflik dengan hukum (ABH). Ia melakukan tindakan ini karena ingin balas dendam atas perasaan telah ditindas dan tidak ada yang memperhatikan. Terlebih, siswa ini menginspirasi enam figur luar negeri yang beraliran ekstrimisme.
Siswa F diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum yang patut diduga melanggar norma hukum. Siswa melanggar Pasal 80 ayat (2) Jo Pasal 76 c Undang-undang Perlindungan Anak. Kemudian, melanggar Pasal 355 KUHP dan atau Pasal 187 KUHP serta Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951.
Meski demikian, pihak kepolisian mengedepankan Sistem Peradilan Anak. Lantaran, korban maupun pelaku berstatus anak di bawah umur.
(Muhammad Fauzan)