Bedah Editorial MI: Mafia Peradilan Masih Ada

16 January 2025 10:03

PENAHANAN oleh Kejaksaan Agung terhadap bekas Ketua Pengadilan Negeri Surabaya Rudi Suparmono kian membuka mata publik, bahwa isu mafia peradilan masih dirawat di negeri ini. Rudi diduga kuat telah menerima segepok uang dalam vonis bebasnya Ronald Tannur, anak bekas anggota DPR yang menganiaya pacarnya hingga tewas.

Apresiasi setinggi-tingginya tentu ditujukan buat Kejaksaan Agung yang terus menguak kasus itu sejak 2024. Di tangan lembaga penuntut negara itu, kasus itu pelan-pelan menguak peran bekas pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar yang jadi broker perkara dalam kasus Ronald Tannur.

Publik sejatinya sudah jengah, bahkan teramat jengah, sehingga tak kaget lagi begitu ada kabar penegak hukum ditangkap karena diduga menerima suap. Rudi menyusul tiga rekannya, para hakim di PN Surabaya, yang lebih dulu mendekam di rutan karena diduga sama-sama menerima suap, yakni Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo. Mereka diduga bersekongkol dengan memberi vonis bebas kepada Ronald Tannur.

Dalam sidang kasasinya, MA membatalkan putusan bebas itu dan menyatakan Ronald terbukti bersalah karena menganiaya pacarnya hingga tewas. Peran Rudi cs, termasuk bekas pejabat MA, saat membebaskan Ronald di PN Surabaya kian menguatkan kegagalan MA mereformasi lembaga peradilan itu.

Lembaga itu, mulai dari pengadilan tingkat pertama hingga tingkat MA, masih dipenuhi oleh tangan-tangan kotor sebagai pemegang palu keadilan.
 

Baca: Siasat Jahat Hakim Bejat Pembebas Ronald Tannur


Tak cocok rasanya memberi stempel wakil Tuhan kepada lembaga yang masih sekotor itu. Stempel palugada rasanya lebih pas: apa lu mau, gua ada. Kalau ingin mendapatkan keadilan, jangan lupa siapkan duit. Begitu ejekan masyarakat kepada penentu keadilan di muka bumi ini tersebut.

Kasus Rudi bersama para pengadil itu juga kian menegaskan mafia peradilan telah mengakar dan membuatnya berdiri teramat kuat di negeri ini.

Para hakim di PN Surabaya itu bukanlah pengadil pertama yang terseret kasus suap. Di tingkat PN ada nama Kartini Marpaung, Ramlan Comel, dan masih banyak lagi. Di tingkat PT, ada Pasti Serefina Sinaga. Di tingkat MA, ada Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh.

Mereka semua rela mengorbankan harkat dan martabat lembaga peradilan, termasuk nama baik diri dan keluarganya, hanya demi segepok duit. Kuatnya rayuan korupsi ternyata masih sulit ditolak oleh para hakim di Indonesia. Sederet nama hakim yang sudah masuk bui karena suap tak membuat gentar hakim lainnya untuk berbuat hal yang sama.

Pertanyaannya tentu, mengapa para hakim tak pernah takut untuk korupsi? Pertanyaan itu tentunya dengan mudah dijawab, penegakan hukum tidak pernah menyasar hingga aktor-aktor intelektualnya dan tidak adanya upaya signifikan MA mereformasi diri.

Jelas di sini MA masih gagal move on. Lembaga tertinggi peradilan itu belum dapat menyapu hakim, panitera, dan pegawai pengadilan yang kotor agar lembaga itu tak berani didekati kuman yang bernama makelar kasus.

Bisa jadi karena sapunya yang kotor, atau tukang sapunya yang juga sama kotornya, maka mewujudkan peradilan yang bersih bak menegakkan benang basah.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Gervin Nathaniel Purba)