Setelah 34 kali ditolak, permohonan uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang memuat aturan presidential threshold (ambang batas pengajuan calon presiden dan wakil presiden) akhirnya dikabulkan.
Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden (presidential threshold). Dalam sidang perkara yang digelar pada 2 Januari 2025 lalu, para hakim konstitusi menilai adanya ambang batas 20% tidak Efektif dan rawan konflik kepentingan.
"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua MK Suhartoyo dilansir dari Website MK pada Kamis, 2 Januari 2025.
Hakim konstitusi juga menimbang hadirnya presidential threshold menyebabkan adanya kecenderungan penyelenggaraan Pilpres dilaksanakan dengan dua pasangan calon. Majelis hakim pun memutuskan mengabulkan permohonan penghapusan ambang batas.
Dengan penghapusan ketentuan ambang batas, artinya pada pemilu selanjutnya seluruh partai politk peserta Pemilu berhak mengusulkan calon presiden dan wakil presiden. MK pun meminta DPR untuk segera merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
Pakar kepemiluan sekaligus salah satu penggugat ambang batas pencalonan presiden, Titi Anggraini mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi. Titi menyebut putusan ini menunjukkan bahwa ambang batas pencalonan presiden memang bertentangan dengan nasionalitas konstitusi.
Titi pun berharap dalam pemilu selanjutnya tidak terjadi polarisasi. Sebab ruang untuk kontestasi sudah dibuka lebar oleh Mahkamah.
"Jadi ini luar biasa ya, 2029 Pilpres kita akan lebih inklusif. Masyarakat akan lebih punya banyak pilihan. Mudah-mudahan polarisasi tidak akan terjadi karena ruang untuk kontestasi sudah dibuka lebar oleh Mahkamah Konstitusi," kata Titi dikutip dari Top News, Metro TV, Kamis, 2 Januari 2024.
Apresiasi positif atas penghapusan
presidential threshold ini juga diberikan oleh mantan ketua MK, Jimly Asshiddiqie.
"Biarlah calon presiden kita itu banyak. Saya pernah jadi pemantau Pilpres di Rusia tahun 2019. Yang mencalonkan diri ke KPU itu 34 calon presiden, tapi yang memenuhi syarat hanya 8. Vladimir Putin tetap menang dengan 76% suara rakyat. Artinya, rakyat yang menentukan tanpa perlu membatasi calon lainnya," kata Jimly pada Jumat, 3 Januari 2025.
Menyusul putusan dihapusnya ambang batas
presidential threshold ini, pemerintah dan DPR sebagai pembuat undang-undang kini punya pekerjaan rumah untuk membahas implikasi dari putusan MK tersebut.
Sejauh ini pemerintah baru bersikap menghormati dan belum mengetahui kapan pemberlakuan aturan tersebut, apakah pada 2029 atau 2024.
Sejak aturan
presidential threshold berlaku pada 2024, sebetulnya sudah banyak pemohon yang menguji aturan syarat ambang batas pencalonan presiden. Namun semua permohonan selalu ditolak oleh hakim konstitusi dengan alasan open legal policy alias ranah pembuat undang-undang yakni pemintah dan DPR.
Salah satu alasan mengapa hakim konstitusi baru mengabulkannya adalah adanya pergerakan politik yang belakangan cenderung mengupayakan Pilpres hanya diikuti dua pasangan calon.
"Padahal pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu dan presiden-wakil presiden secara langsung menunjukkan dengan hanya dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi atau masyarakat yang terbelah, yang sekiranya tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebinekaan Indonesia," kata Hakim Konstitusi Saldi Isra pada Kamis, 2 Januari 2025.
"Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan Pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal. Kecenderungan demikian, paling tidak dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong," lanjutnya.
Dengan adanya putusan MK ini, maka pada kontestasi Pilpres selanjutnya seluruh partai politik bisa mencalonkan capres dan cawapres. Artinya bila Presiden Prabowo Subianto maju lagi dalam Pilpres 2029, bukan tidak mungkin ketua umum Partai Gerindra itu akan menghadapi banyak pesaing.