Kemiskinan menjadi salah satu fokus pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dalam 10 tahun pemerintahannya. Anggaran dikeluarkan juga fantastis, bahkan dua kali lipat dibanding tahun 2015, dan hasilnya pun cukup memuaskan.
10 tahun sudah Presiden Joko Widodo menduduki jabatan presiden Republik Indonesia. Dalam 10 tahun pemerintahannya, kemiskinan menjadi salah satu fokus komitmen. Ini tampak dari jumlah anggaran perlindungan sosial yang naik nyaris dua kali lipat sejak tahun 2015, dengan rata-rata kenaikan anggaran kemiskinan sebesar 10,5% per tahun, dari Rp247,6 triliun pada 2015 hingga Rp436,2 triliun pada 2023.
Anggaran fantastis itu disalurkan ke berbagai program strategis, di antaranya Program Bidik Misi, Program Keluarga Harapan, meningkatkan Alokasi Dana Desa, dan Bantuan Sosial Pangan atau BPNT.
Upaya itu pun membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Tingkat kemiskinan sejak 2014 hingga Maret 2024 menunjukkan tren penurunan yang cukup signifikan, meski sempat ada kenaikan pada 2021 saat pandemi Covid-19 melanda.
Kemiskinan ekstrem pun turun signifikan dari 6,18% pada 2014 menjadi 0,83% per Maret 2024. Indeks ketimpangan atau rasio Gini pun menurun dari 0,4 pada September 2015 menjadi 0,379 pada Maret 2024.
“Tingkat
pengangguran terbuka juga turun dari 5,86% pada 2022 menjadi 5,32% pada 2023. Angka kemiskinan ekstrem mampu kita turunkan dari sebelumnya 6,1% menjadi 0,8% di tahun 2024,” tutur Jokowi dalam keterangannya baru-baru ini.
“Angka
stunting juga mampu kita kurangi dari sebelumnya 37% menjadi 21,5% di tahun 2023. Dan tingkat pengangguran juga mampu kita tekan dari sebelumnya 5,7% menjadi 4,8% di tahun 2024,” jelas Jokowi.
Tidak hanya dari anggaran perlindungan sosial, turunnya tingkat kemiskinan pun ditopang oleh faktor lain. Di antaranya pertumbuhan ekonomi yang terjaga di level 5%, peningkatan nilai tukar petani, rata-rata upah buruh lapangan, usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan.
Tidak hanya itu, tingkat inflasi tahunan pun masih terjaga di kisaran level 2% di tengah tingginya tingkat inflasi dunia termasuk di negara-negara maju. Meski capaian ini perlu diapresiasi, Namun bukan berarti kita boleh lengah. Tantangan perekonomian seperti ancaman PHK akibat perelemahan sektor manufaktur masih membayangi kalangan pekerja yang bisa membuat warga kelas menengah rentan terpeleset dan jatuh ke kelompok warga miskin.