LEMBAGA bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah punya cerita indah. Mereka tidak hanya disegani lembaga-lembaga lain karena kinerjanya yang kinclong dalam meringkus para pelaku korupsi, tapi juga sangat dipercaya masyarakat.
Simpati dan dukungan publik kepada lembaga itu mengalir deras karena keberanian mereka menangkap sekaligus mengirim banyak 'orang penting' dan penyelenggara negara yang terbukti melakukan rasuah ke rumah prodeo. Pada masa itu, KPK menjadi anutan bagaimana seharusnya penegak hukum bekerja. Kepercayaan terhadap mereka jauh melebihi lembaga penegak hukum lainnya, seperti kejaksaan dan kepolisian.
Jika menilik kemampuan KPK, tak ada yang meragukan betapa bergiginya KPK di masa itu. Sebagai contoh, KPK hanya butuh waktu tiga bulan untuk menangkap mantan Bendahara Umum Demokrat Muhammad Nazaruddin yang sempat mengembara ke Singapura dan daratan Kolombia pada 2011 silam.
Publik juga tentu tidak lupa masa-masa awal berdirinya KPK pada 2002 silam. Ketika itu, lembaga itu tak takut untuk menangkap para menteri dan elite-elite politik yang terindikasi korupsi.
Namun itu semua cerita lalu. Setelah berkali-kali gagasan untuk memereteli kewenangan lembaga antikorupsi itu muncul dan akhirnya dieksekusi, termasuk lewat revisi Undang-Undang KPK, lalu ditambah pula masifnya intervensi kekuasaan saat seleksi pimpinan KPK yang lalu, harus diakui, dalam lima tahun terakhir ini mereka tak lagi punya kegarangan dan keberanian yang sama.
Maka, KPK wajah baru yang dengan pimpinan yang baru dilantik, kemarin, menjadi harapan baru bahwa sesungguhnya KPK belum mati. Lembaga itu harus kembali menjadi anutan untuk memastikan bahwa hukum semestinya tetap tegak di negeri ini.
Tugas pimpinan baru KPK yang dikomandani Setyo Budiyanto tidaklah ringan. Mereka mesti mengembalikan lagi kepercayaan masyarakat kepada lembaga antirasuah yang kini boleh dikatakan tengah rontok. Namun, harapan mesti tetap digantungkan. Apalagi Setyo bukan orang baru di KPK. Dia adalah Direktur Penyidikan di kepemimpinan KPK periode lalu.
Bicara melihat rekam jejaknya, tak ada yang meragukan kemampuan Setyo membongkar sebuah kasus. Berpangkat terakhir Inspektur Jenderal, ia telah menangani sejumlah kasus korupsi kakap, termasuk kasus yang menyengat mantan Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin pada 2021 silam.
Saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK di DPR, Setyo menegaskan KPK tetap perlu mempertahankan operasi tangkap tangan, salah satu kewenangan KPK yang belakangan sering diperdebatkan efektivitasnya. Penegasan itu kembali diulangnya seusai dilantik sebagai pimpinan KPK di Istana Negara.
Penegasan lisan tersebut tentunya harus sejalan dengan perbuatan. Publik sangat menantikan, apakah langkahnya lima tahun ke depan nanti dapat mengembalikan muruah KPK sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi atau masih sama saja.
Publik sangat merindukan hadirnya kembali KPK yang seperti dulu.
KPK yang disegani kawan sekaligus ditakuti lawan. Bukan KPK yang loyo karena dipimpin seorang ketua yang di kemudian hari menjadi tersangka kasus pemerasan. Bukan KPK yang ditingkahi dengan kelakuan minus pimpinan dan karyawan KPK di masa lalu, mulai dari menerima fasilitas dari perusahaan, hingga pungli di Rutan KPK.
Bukan perkara mudah bagi pimpinan KPK yang baru untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Konsolidasi internal perlu segera dikebut untuk mengembalikan roda KPK yang selama sekian tahun dijalankan dan dipimpin dengan cara-cara yang tidak proper, pun tidak prudent.
Sebagai lembaga yang mengedepankan integritas, KPK harus memastikan diri bebas dari berbagai kepentingan politik. Hal yang tak mudah tentunya, tetapi hal itu yang justru jadi dasar berdirinya lembaga ini.
KPK yang baru harus benar-benar menomorsatukan kepentingan hukum. Jika tak sanggup, silakan segera mengundurkan diri mumpung belum lama dilantik.