Kasus suap yang menyeret hakim dan panitera dalam perkara ekspor Crude Palm Oil (CPO) menambah daftar panjang kelamnya integritas lembaga peradilan. Menurut Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, keterlibatan para penegak hukum ini menunjukkan lemahnya pembinaan dan pengawasan internal Mahkamah Agung (MA).
"Godaan pasti ada ketika berhadapan dengan kekuasaan dan uang yang besar. Lama-lama bukan cuma digoda, mereka minta digoda, bahkan bisa sampai memeras," ungkap Boyamin seperti dikutip dari Metro Hari Ini Metro TV, Senin, 14 April 2025.
Boyamin mengungkap fakta mengejutkan bahwa banyak hakim, termasuk yang senior, memiliki pinjaman bank hingga 80 persen dari penghasilan mereka. Hal ini membuat mereka rentan terjerumus ke praktik
korupsi.
"Gaji yang dibawa pulang tinggal 20 persen, lalu digunakan untuk gaya hidup mewah. Maka saya usulkan pinjaman bank maksimal 30 persen saja," katanya.
Ia juga menyoroti lemahnya keterbukaan MA terhadap pengawasan Komisi Yudisial (KY). Sejak kewenangan KY dipangkas lewat putusan
Mahkamah Konstitusi (MK), MA terkesan tertutup dan defensif.
"Kalau niatnya baik, harusnya tidak masalah diawasi. Tapi kalau defensif, berarti ada yang ditutupi," tegasnya.
Tak hanya hakim dan panitera, kuasa hukum perusahaan juga diduga ikut terlibat dalam skema suap. Boyamin menyesalkan peran
pengacara yang seharusnya menjaga etika profesi malah justru menjadi perantara dalam praktik curang.
“Lawyer-nya tidak pernah tampil tapi sangat mengatur di belakang layar. Ini memalukan,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia meminta Kejaksaan Agung (
Kejagung) mengusut kemungkinan adanya 'penggerak dari atas' dalam kasus ini, seperti yang terjadi dalam kasus Ronny Surabaya yang didorong oleh atasan.
"Rasanya kalau mereka main sendiri tidak cukup. Harus dicari siapa yang menjamin dan memberi lampu hijau," katanya.
Menutup pernyataannya, Boyamin mendorong agar MA tidak lagi pasif dan segera melakukan bersih-bersih internal.
“Kalau begini terus, keadilan hanya jadi formalitas. Yang kita dapat malah kekecewaan publik,” pungkasnya.
(Zein Zahiratul Fauziyyah)