19 December 2025 08:38
OPERASI tangkap tangan (OTT) yang kembali dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di penghujung tahun 2025 menjadi penegasan pahit bahwa praktik korupsi belum juga surut. Provinsi Banten tercatat sebagai sasaran OTT kesembilan sepanjang tahun ini. Fakta tersebut bukan sekadar angka statistik, melainkan cermin rapuhnya tata kelola pemerintahan dan lemahnya integritas sebagian penyelenggara negara. Di tengah berbagai slogan reformasi birokrasi, korupsi tetap menemukan celah untuk hidup dan berkembang.
Benar bahwa sepanjang tahun ini, KPK melakukan sembilan OTT, lebih besar daripada operasi serupa yang dilakukan lembaga antirasuah itu pada tahun lalu. Tentu, ikhtiar itu tetap layak mendapatkan apresiasi.
Namun, berulangnya OTT menunjukkan dua sisi yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, KPK masih bekerja dan menjalankan fungsinya sebagai benteng terakhir pemberantasan korupsi. Di sisi lain, hal itu sekaligus mengindikasikan bahwa efek jera belum sepenuhnya terwujud.
Peningkatan OTT belum berarti peningkatan kinerja KPK secara keseluruhan. Lebih jauh lagi, tingginya kasus korupsi menunjukkan belum ampuhnya efek penjeraan, apalagi dampaknya pada pencegahan korupsi.
Baca Juga :
Sepanjang tahun 2025, KPK menyidik sekitar 50 kasus. Sementara itu, tahun lalu, jumlahnya tiga kali lipat. Padahal, hingga Juni 2025 saja KPK telah menerima 2.273 laporan. Dari jumlah itu, 2.019 aduan terverifikasi, yang artinya pula korupsi masih sangat merajalela di Indonesia.
Baik dari kasus OTT maupun penangkapan terencana, intitusi biang korupsi pun belum berubah, yakni kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah, baik ekskutif maupun legislatif.
Fakta itu harus dipahami bahwa bukan hanya pemberantasan korupsi yang patut mendapatkan atensi, melainkan juga strategi pencegahan korupsi harus dibangun lebih keras lagi. Hal seperti itu mutlak dilakukan jika kita ingin membuat perubahan besar dalam perang korupsi di tahun-tahun selanjutnya.
Bicara soal praktik korupsi di pemerintahan daerah, fakta-fakta mengindikasikan bahwa musabab korupsi bukan semata karena kebiasaan yang sudah bobrok di institusi itu, melainkan kebiasaan korupsi itu terus langgeng sebagai akibat tingginya biaya politik di pilkada.
Kondisi tersebut masih ditambah dengan hukuman yang dijatuhkan sangat ringan, sistem pengawasan yang longgar, serta budaya permisif terhadap penyalahgunaan wewenang membuat korupsi seolah menjadi risiko yang 'layak diambil' oleh sebagian pejabat. Selama sistem tidak cukup keras dan konsisten, praktik ini akan terus berulang dengan pola yang sama.
Karena itu, negara tidak bisa lagi hanya mengandalkan penindakan setelah kejahatan terjadi. Yang lebih mendesak adalah membangun sistem pencegahan yang kuat, transparan, dan menutup ruang kompromi. Digitalisasi layanan publik, penguatan pengawasan internal, serta sanksi tegas yang benar-benar menjerakan harus diterapkan tanpa pandang bulu. Penegakan hukum juga mesti dibarengi dengan keteladanan pemimpin, sebab integritas tidak bisa ditanamkan hanya lewat aturan, tetapi juga melalui contoh nyata.
OTT di Banten seharusnya menjadi alarm keras bagi semua pihak. Korupsi tidak akan berhenti dengan sendirinya jika negara setengah hati dalam melawannya. Tanpa sistem yang tegas dan konsisten, pemberantasan korupsi hanya akan menjadi rutinitas penangkapan, bukan solusi yang menyembuhkan akar persoalan.