Sekitar 10-15 ribu pendatang baru diprediksi masuk Jakarta pasca libur Lebaran 2025, pada masa arus balik. Tak heran, 70% perputaran uang ada di Jakarta.
Provinsi Jakarta juga menyumbang sekitar 20% untuk PDB Nasional. Bahkan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jakarta merupakan yang tertinggi yaitu Rp91 triliun.
Gemerlapnya ekonomi Jakarta bukan tanpa cela. Jumlah pengangguran Jakarta pada 2024 mencapai 354.469 orang. Jumlah tersebut merupakan 6,21% di atas rata-rata nasional yaitu 4,91%.
Pada Januari-Februari 2025, sekitar 2.650 pekerja kehilangan pekerjaan di Jakarta. Jadi apa saja keuntungan dan hal-hal yang perlu diperhatikan saat merantau ke Jakarta?
Jakarta memiliki banyak
perguruan tinggi mencakup 289 perguruan tingi, 4 perguruan tinggi negeri, 272 perguruan tinggi swasta, dan 13 perguruan tingi kedinasan.
Selain itu Jakarta memiliki banyak rumah sakit yang memungkinkan fasilitas kesehatan lebih mudah dijangkau. Sarana transportasi publik di Jakarta pun lengkap. Tersedia MRT, LRT, Bus Transjakarta, Transjakarta Mikro, KRL Jabodetabek, dan kereta cepat.
Namun kualitas hidup di Jakarta cukup rendah. Indeks kualitas hidup (IKH) Jakarta terendah ke-2 di Asia Tenggara setelah Manila. IKH Jakarta 68,46, sedangkan Manila 41,48.
Angka tersebut 'keok' bila dibandingkan IKH Singapura 146,53, IKH Kuala Lumpur 108,91, IKH Hanoi 93,97, dan Bangkok 85,38.
Jakarta masih menjadi kota harapan dengan upah minimum regional (
UMR) Jakarta setinggi Rp5.067.381, peluang usaha luas, dan pemerintahan provinsi yang terbuka bagi pendatang baru.
Sementara itu, Jakarta mengalami krisis hunian. Menurut BPS, sebanyak 61% rumah tangga tidak memiliki akses terhadap hunian layak. Harga rumah dan apartemen di Jakarta sulit dijangkau, serta adanya kesenjangan sosial yang cukup tingi.
Rasio Gini atau ketimpangan pendapatan di Jakarta cukup tinggi. Per September 2024, rasio Gini di Jakarta mencapai 0,431. Angka tersebut lebih tinggi daripada Jawa Barat (0,428), Jawa Timur (0,373), dan Jawa Tengah (0,364).