Daftar Calon Sementara (DCS) Pemilu Legislatif 2024 telah diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Masyarakat kemudian diminta untuk ambil bagian, ikut mencermati, menyampaikan masukan, dan memberikan tanggapan.
Sekilas, permintaan KPU sangatlah ideal, gurih untuk didengar. Seolah terbuka ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam ajang kontestasi lima tahunan. Calon pemilih seakan diajak mengkritisi rekam jejak orang-orang yang akan mereka percayakan sebagai wakil rakyat.
Namun, ketika masyarakat hendak menjalankan permintaan KPU, sikap lembaga itu justru berubah 180 derajat. Ambil contoh soal desakan membuka daftar riwayat hidup para bakal calon anggota legislatif (bacaleg) ke publik. KPU malah menunjukkan perlawanan.
KPU berkilah tidak bisa begitu saja membuka daftar riwayat hidup bacaleg. Lembaga yang dipimpin Hasyim Asy'ari itu mengaku terikat pada Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang mengecualikan daftar riwayat hidup sebagai informasi publik. Padahal, informasi itu akan menjadi pegangan awal masyarakat ketika akan memberikan tanggapan soal DCS kepada KPU. Keterangan singkat seperti domisili, riwayat pendidikan, pekerjaan, motivasi pencalonan, serta program usulan jika caleg terpilih sangatlah berguna.
Masyarakat sulit berpartisipasi karena DCS hanya memuat nomor urut partai politik peserta pemilu, nama partai politik, tanda gambar, nomor urut calon, foto diri terbaru calon, nama lengkap calon, jenis kelamin, dan kabupaten/kota tempat tinggal calon.
Selain sulit untuk melakukan pengawasan, masyarakat jadi terhalang untuk membentuk kedekatan dengan bacaleg bila tidak memiliki informasi awal. Kandidasi knowledge diyakini menjadi faktor penting untuk membentuk kandidasi engagement.
Jika saja KPU menyadari pentingnya kandidasi enggagement, misi untuk meningkatkan partisipasi pemilih di Pemilu 2024 akan mudah terlaksana. Masyarakat bakal berbondong-bondong datang ke bilik suara karena tahu siapa figur yang akan mewakili mereka di parlemen.
Terkait hal itu, KPU malah berlindung di balik alasan harus ada persetujuan dari bacaleg. Jika disetujui, daftar riwayat hidup baru dibuka setelah penetapan daftar calon tetap (DCT) anggota DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota pada 3 November mendatang.
Padahal, berkaca pada Pemilu 2019, hanya 49,5?lon anggota DPR yang bersedia memublikasikan daftar riwayat hidup. Itu sebabnya masyarakat jauh-jauh hari meminta agar pada pemilu kali ini keputusan tersebut tidak diserahkan kepada bacaleg. Harus ada sistem yang mau tidak mau memaksa bacaleg dalam hal keterbukaan daftar riwayat hidup. Kalaupun alasannya UU No 14 Tahun 2008, kenapa pada Pemilu 2014 persoalan keterbukaan daftar riwayat hidup bukan menjadi suatu halangan?
Kala itu masyarakat mampu menemukan bacaleg asal-asalan mengisi daftar riwayat hidup. Ada bacaleg yang mencantumkan berpendidikan SD, padahal syarat minimum sekurang-kurangnya ialah SMA.
Ruang partisipasi masyarakat ketika itu benar-benar nyata, bukan fatamorgana. Ruang bagi pemilih untuk aktif berpartisipasi menjadi semakin semu, ibarat panggung sandiwara, ketika berbicara soal bacaleg mantan terpidana. Bacaleg yang pernah dipenjara diminta berinisiatif mengumumkan latar belakang mereka lewat media massa.
KPU tidak mengatur secara rinci dan ketat jadwal pengumuman itu serta media massa mana yang akan digunakan. Ini sama saja membuat publik menjadi harap-harap cemas, padahal bisa saja tugas itu diambil alih oleh KPU.
Publik menjadi semakin cemas karena akses Sistem Informasi Pencalonan (Silon) tidak bisa dibuka oleh publik maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI. Persoalan itu sudah dilaporkan kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI dan sedang diproses.
KPU ingin publik terlibat aktif, tapi sarananya dibatasi. Hal itu ibarat menyuruh orang pergi memancing ikan, tapi di saat bersamaan menyembunyikan kail dan menutup akses menuju kolamnya. Sangat bertentangan dengan akal sehat, sungguh menyengsarakan.