Tawuran antar pelajar saat ini mudah terjadi di berbagai tempat. Bukan hanya tawuran, para pelajar juga kerap melakukan kekerasan melalui geng motor.
Fenomena ini disikapi Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi dengan rencana menerapkan program wajib militer bagi anak-anak bermasalah. Peserta akan mengikuti pendidikan khusus di bawah pengawasan TNI-Polri selama 1 tahun. Sementara status sekolahnya tetap terdaftar dengan status kelas khusus.
Menurut Gubernur Jawa Barat, rencananya program akan dimulai pada Mei 2025, dengan peserta termasuk anak-anak yang tertangkap tawuran atau terlibat tindak kriminal.
"Nanti di komplek tentara atau di komplek polisi kita sekolahkan di situ selama 1 tahun minimalnya 6 bulan sampai dia berubah. Enggak bisa lagi terus-terusan wacana dari dulu enggak selesai-selesai, harus tuntas," tegas Dedi.
Perbedaan Disiplin Militer dan Disiplin Sipil
Namun rencana ini dipertanyakan para ahli pendidikan. Pengamat pendidikan, Ubaid Matraji menyebut mendisiplinkan siswa dengan cara-cara pendidikan militeristik tidak tepat. Sebab ada perbedaan antara disiplin militer dengan disiplin sipil.
Secara teori dan praktik, disiplin sipil dan disiplin militer berbeda secara fundamental, baik dalam tujuan, metode, maupun filosofi dasarnya. Tujuan disiplin militer adalah menumbuhkan kepatuhan mutlak terhadap perintah, kesiapan menghadapi situasi ekstrem misalnya perang, operasi, dan menjaga hierarki komando. Sedangkan disiplin sipil menanamkan kesadaran diri, tanggung jawab pribadi, dan kepatuhan pada norma sosial atau hukum demi keteraturan masyarakat.
Secara metode, disiplin militer mengandalkan pendekatan top down, pelatihan fisik keras, hukuman tegas, bahkan fisik, dan struktur komando yang ketat. Sedangkan disiplin sipil menggunakan pendekatan button up, pembinaan berbasis nilai, dialog, konsistensi aturan, dan penguatan motivasi intrinsik.
Dari segi filosofi dasar, disiplin militer berdasarkan prinsip kepatuhan dan loyalitas mutlak bahwa perintah adalah hukum. Sedangkan disiplin sipil berdasarkan prinsip kesetaraan dan kemandirian moral. Dengan demikian, taat karena mengerti dan sadar, bukan karena takut.
Kritik serupa datang dari Setara Institute. Pendidikan militer yang lebih menekankan pada penggunaan instrumen fisik dan kekerasan dinilai tidak cocok diterapkan di sekolah.
"Pendidikan militer kan sama sekali berbeda dengan pendidikan sipil. Misalnya dalam hal penggunaan instrumen pendidikan kan biasa saja kalau di pendidikan militer itu penggunaan instrumen-instrumen fisik bahkan kekerasan gitu ya. Dan itu berbahaya kalau pola serupa kemudian digunakan di pendidikan sipil," ungkap Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan.
"Maka ketika pendidikan militer itu diterapkan di sipil dan kemudian dari sisi pendekatan menggunakan pendekatan kekerasan itu pasti sangat problematik. Karena hasilnya pasti akan berbeda ya antara pendekatan kekerasan dengan
pendekatan nir kekerasan," lanjutnya.
Kasus Kekerasan di Sekolah Kedinasan
Memang pendidikan yang menggunakan pendekatan militeristik selama ini banyak menimbulkan masalah. Misalnya di dalam pendidikan kedinasan tidak sekali dua kali terjadi penganiayaan antara senior.
Misalnya tahun lalu di
Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta. Taruna tingkat satu tewas setelah dipukul lima kali oleh seniornya di toilet kampus. Pemukulan dilakukan karena korban dianggap melakukan kesalahan dalam berpakaian.
Kasus rupa sebelumnya juga terjadi di sejumlah sekolah kedinasan. Alasan kekerasan terjadi karena senior mendisiplinkan junior.
Legislator Ingatkan Program Wamil Siswa Tak Ganggu Psikologis
Wakil Ketua Komisi X, Lalu Hadrian Irfani mengingatkan Gubernur Jawa Barat bahwa kebijakan ini harus dikoordinasikan dengan pemangku kepentingan di bidang pendidikan. Agar tidak bertentangan dengan kurikulum nasional dan tidak disalahartikan serta tidak berdampak buruk terhadap psikologis peserta didik.
Dalam kaitan ini, Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan mengkritik Gubernur Jawa Barat yang sudah seperti ahli segala hal, termasuk pendidikan. Di antaranya jadi tiba-tiba melarang sekolah memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada siswa. Padahal itu harus dikaji lebih dulu.
"Sesungguhnya gubernur itu bukan pihak yang paling mengerti segala hal. Aspek participatory atau meaningful
participation, partisipasi bermakna, itu kan harus di penuhi juga ya. Jangan kemudian Dedi Mulyadi Gubernur Jawa Barat ini diposisikan sebagai ahli pendidikan misalnya atau bahkan ahli segala ahli ya enggak bisa ya,"
Peringatan Wakil Ketua Komisi X, Lalu Hadrian Irfani bahwa kebijakan soal pendidikan ini harus dibicarakan dengan semua pemangku pendidikan. Jangan sampai sebuah kebijakan dilaksanakan bersifat eksperimen atau coba-coba. Sebab ini menyangkut pembentukan karakter anak didik.