Panji Gumilang. (MI/sumaryanto bronto)
Siti Yona Hukmana • 28 July 2023 16:49
Jakarta: Bareskrim Polri melayangkan panggilan kedua terhadap Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Zaytun, Panji Gumilang dalam penyidikan kasus dugaan penistaan agama. Panji diminta hadir dalam pemeriksaan sebagai saksi pada Selasa, 1 Agustus 2023.
"Kami melayangkan panggilan kedua yaitu kami panggil sebagai saksi dan diharapkan besok tanggal 1 Agustus yang bersangkutan bisa hadir untuk memenuhi panggilan kami," kata Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Jumat, 28 Juli 2023.
Sedianya, Panji dipanggil dipanggil untuk diperiksa dalam proses penyidikan pada Kamis, 27 Juli 2023. Namun, dia absen dengan alasan sakit. Kemudian, meminta pemeriksaan dijadwalkan ulang pada Kamis, 3 Agustus 2023.
Menurut Djuhandhani, Panji menyerahkan surat keterangan dokter yang diwakilkan kepada kuasa hukum pada Kamis, 27 Juli 2023. Namun, Djuhandhani meragukan surat dokter itu dan melakukan pemanggilan terhadap Panji sesuai jadwal yang ditentukan penyidik.
"Itu surat dokter secara formil tidak bisa dibuktikan," ucapnya.
Panji Gumilang diperiksa pertama kali pada Senin, 3 Juli 2023. Pemeriksaan itu dalam tahap klarifikasi, karena kasus masih dalam tahap penyelidikan.
Usai memeriksa Panji, penyidik Dittipidum Bareskrim Polri menggelar perkara dan menemukan perbuatan pidana. Yakni ada dugaan perbuatan penistaan agama yang dilakukan Panji.
Kini, kasusnya telah naik ke tahap penyidikan. Total ada 50 saksi diperiksa dalam proses penyidikan 30 saksi dan 20 saksi ahli. Polisi juga telah mengantongi hasil uji bukti di Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Polri dan mengantongi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Setelah memeriksa Panji, penyidik akan menggelar perkara. Ekspose itu untuk melihat kelengkapan bukti untuk penetapan sebagai tersangka.
Bareskrim Polri mengantongi tiga unsur pidana yang diduga dilakukan Panji Gumilang setelah gelar perkara dalam tahap penyelidikan. Pertama, Pasal 156 A KUHP tentang Penistaan Agama. Kedua, Pasal 45A ayat (2) Jo 28 ayat 2 Indang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Beleid itu berbunyi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Ketiga, Pasal 14 Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang mengatur terkait berita bohong. Beleid itu menyebutkan barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 10 tahun.