Milisi Janjaweed. (via PBS) 
                                                
                    Riza Aslam Khaeron • 31 October 2025 13:01 
                
                
                    
                        Jakarta: Kekejaman luar biasa kembali mengguncang dunia dari kota El-Fasher, Sudan. Selama akhir pekan terakhir bulan Oktober 2025, kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) dilaporkan telah melakukan pembunuhan massal setelah merebut kota strategis ini di wilayah Darfur.
Dalam rekaman yang tersebar di media sosial dan diverifikasi oleh aktivis serta citra satelit, puluhan hingga ratusan mayat terlihat berserakan di jalanan, rumah sakit, dan bahkan di parit-parit terbuka.
Sejumlah video memperlihatkan eksekusi brutal terhadap warga sipil, termasuk seorang pria yang masih hidup ditembak mati di sebuah gedung penuh jenazah.
Menurut laporan jurnalis dan pengamat HAM Ahmed Gouja, ribuan orang diduga tewas dalam beberapa hari terakhir, termasuk hampir 500 pasien dan staf medis di satu-satunya rumah sakit yang masih berfungsi di El-Fasher.
Situasi ini menandai salah satu kekejaman paling mengerikan sejak konflik Sudan meletus dua tahun silam.
Namun yang paling mengerikan, para pelaku kekerasan ini bukan aktor asing yang baru muncul, melainkan bagian dari sejarah kelam Sudan: milisi Janjaweed, yang kini berevolusi menjadi RSF.
Lantas siapa sebenarnya Janjaweed, milisi yang konon dijuluki "setan berkuda" tersebut? Berikut ulasannya.
 
Asal Usul Janjaweed dan Genosida Darfur
Janjaweed adalah kelompok milisi bersenjata yang namanya menjadi simbol kekejaman dalam konflik Darfur sejak awal 2000-an.
Nama Janjaweed berasal dari gabungan kata dalam bahasa Arab yang berarti “penjahat bersenjata di atas kuda”, sebuah label yang mencerminkan metode operasi mereka—menggunakan kuda, unta, dan senjata otomatis untuk menyerang desa-desa di Darfur.
Milisi ini pertama kali menjadi sorotan dunia pada 2003 ketika menyerbu kota Tawila di Darfur Utara dan melakukan pembantaian sistematis terhadap warga sipil.
Menurut laporan yang dikutip oleh PBB, mereka membunuh setidaknya 67 orang, menculik 16 siswi sekolah, dan memperkosa 93 perempuan—enam di antaranya diperkosa di depan keluarganya sendiri.
Para pelaku juga disebut menandai tangan korban perkosaan agar dikenali dan dikucilkan oleh masyarakat. Tindakan ini, menurut Human Rights Watch, merupakan bagian dari pola kekerasan yang lebih luas, bertujuan untuk menghancurkan komunitas non-Arab di Darfur secara menyeluruh.
Asal mula Janjaweed ditelusuri hingga dekade 1980-an, ketika sekelompok milisi perang dari Chad yang sebelumnya disponsori oleh Muamar Gaddafi di Libya melarikan diri ke Darfur usai dikalahkan.
Mereka kemudian bergabung dengan kelompok penggembala unta Arab Darfur yang saat itu sedang mengalami tekanan ekonomi dan kekeringan.
Gabungan ini membentuk milisi suku pengembara yang selama bertahun-tahun beroperasi secara otonom dan dikenal brutal dalam mempertahankan wilayah serta sumber daya.
Namun ketika perang sipil Sudan memanas pada awal 2000-an, milisi ini berubah peran. Mereka tidak lagi bertindak sepenuhnya independen, melainkan mulai digunakan sebagai alat taktis oleh pemerintah Sudan untuk menghadapi pemberontakan di Darfur.
 Gambar: Ilustrasi genosida Darfur. (Dok. Nobel Peace Centre)
Gambar: Ilustrasi genosida Darfur. (Dok. Nobel Peace Centre)
Laporan dari Human Rights Watch dan International Crisis Group menyebutkan bahwa pemerintah bukan hanya mempersenjatai dan melatih Janjaweed, tetapi juga memberi komando langsung lewat pejabat tinggi militer di Khartoum.
Sasaran utama kekerasan Janjaweed adalah kelompok etnis Fur, Zaghawa, Masalit, dan Tunjur—semuanya adalah kelompok Muslim non-Arab yang diduga bersimpati pada gerakan pemberontakan terhadap kekuasaan pusat.
Pada 2003, kekerasan ini mencapai puncaknya dalam tragedi kemanusiaan yang secara luas dikenal sebagai genosida Darfur—salah satu genosida besar pertama di abad ke-21.
Dalam peristiwa ini, Janjaweed diduga melakukan pembersihan etnis dengan cara membakar desa, memperkosa secara massal, membunuh pria dewasa, menculik anak-anak, meracuni sumur, dan menghancurkan ladang. Diperkirakan sekitar 300 ribu orang tewas dan lebih dari 2,5 juta lainnya mengungsi.
Human Rights Watch dalam laporan tahun 2015 menyebut Janjaweed sebagai “
men with no mercy”, atau "pria tanpa belas kasihan"—frasa yang menggambarkan kebrutalan tanpa ampun dalam operasi mereka.
Para pengamat menilai bahwa aksi kekerasan Janjaweed dipicu oleh ideologi supremasi Arab, yang mendorong mereka untuk menyerang komunitas-komunitas nonArab secara sistematis.
"Janjaweed dimotivasi oleh perebutan lahan, rasisme terang-terangan, dan ideologi supremasi Arab," ujar ahli Sudan, Alex de Waal. Ia menambahkan bahwa “serangan-serangan mereka adalah bentuk penghancuran sengaja terhadap suatu komunitas,” dan bahwa kekerasan yang dilakukan sangat tidak sebanding dengan ancaman militer dari kelompok pemberontak.
 
 
Menjadi RSF dan Perang Sudan
.jpg) Janjaweed berubah menjadi RSF. (Darfur 24)
Janjaweed berubah menjadi RSF. (Darfur 24)
Setelah berperan dalam genosida Darfur, Janjaweed secara resmi diinstitusionalisasi oleh Presiden Sudan Omar al-Bashir pada tahun 2013 menjadi 
RSF. Formasi ini menandai perubahan besar: dari milisi suku yang brutal menjadi pasukan paramiliter negara yang sah secara hukum.
Pemerintah Sudan menerbitkan undang-undang pada 2017 yang mengesahkan 
RSF sebagai kekuatan keamanan independen. Sejak saat itu, RSF digunakan untuk berbagai kepentingan strategis, mulai dari memerangi pemberontak di Pegunungan Nuba, mengendalikan perbatasan dari migrasi ilegal, hingga dikirim sebagai tentara bayaran untuk koalisi Saudi dalam perang Yaman.
Di bawah komando Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, atau Hemedti, 
RSF tidak hanya tumbuh dalam kekuatan militer, tetapi juga kekuasaan ekonomi. Hemedti diketahui menguasai tambang emas strategis di Sudan, menjadikannya salah satu orang terkaya di negara tersebut.
RSF juga memainkan peran utama dalam menjaga kekuasaan al-Bashir, bahkan setelahnya menjadi aktor kunci dalam kudeta yang menggulingkan presiden tersebut pada 2019.
Kudeta ini dilakukan bersama militer reguler, Sudan Armed Forces (SAF), dan membentuk Dewan Kedaulatan yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, dengan Hemedti sebagai wakilnya.
Namun kesepakatan kekuasaan ini tidak bertahan lama. Pada Oktober 2021, 
RSF dan SAF kembali melakukan kudeta terhadap pemerintahan transisi sipil yang dipimpin Perdana Menteri Abdalla Hamdok. Situasi politik memburuk hingga meletus menjadi perang terbuka pada 15 April 2023, ketika RSF menolak integrasi ke dalam angkatan bersenjata reguler.
Sejak itu, Sudan dilanda konflik internal berdarah antara dua kekuatan militer yang masing-masing beranggotakan lebih dari 100.000 personel.
Dalam dua tahun terakhir, pertempuran telah menyebabkan lebih dari 150.000 kematian dan memaksa lebih dari 14 juta orang mengungsi, menjadikan Sudan sebagai krisis pengungsi terbesar di dunia.
Wilayah Darfur kembali menjadi pusat kekejaman. 
RSF dituduh melakukan pembantaian terhadap kelompok etnis Masalit dan komunitas nonArab lainnya.
Pada pertengahan 2023, lebih dari 800 orang dibunuh dalam satu serangan di kota Ardamata, dan ribuan desa dibakar habis di Darfur Barat.
Di tengah krisis ini, RSF bahkan menyatakan niatnya membentuk pemerintahan tandingan. Pada Maret 2025, kelompok ini menandatangani konstitusi baru di Nairobi yang mencakup gagasan sekularisme, demokrasi, dan desentralisasi.
Namun, tindakan ini dipandang sebagai upaya mendapatkan legitimasi diplomatik sambil tetap melanjutkan kekerasan di lapangan. Sejumlah lembaga internasional menyebut kekejaman RSF selama konflik sebagai genosida baru dan mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengambil tindakan darurat.