Ilustrasi, kelapa sawit. Foto: pkt-group.com
Jakarta: Pemerintah Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekspor biodiesel ke Uni Eropa (UE) akan stabil pada tingkat 6,7 persen pascakemenangan dalam sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait bea anti-subsidi (CVD).
"Angka 6,7 persen dapat dipertahankan atau bahkan tumbuh, seiring komitmen UE dalam IEU-CEPA yang mengakui sawit Indonesia sebagai energi terbarukan," kata Direktur Jenderal Negosiasi Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Djatmiko Bris Witjaksono dikutip dari Xinhua, Jumat, 29 Agustus 2025.
Proyeksi tersebut didasarkan pada beberapa faktor. Panel WTO memutuskan bea anti-subsidi yang diberlakukan UE tidak didukung bukti objektif sehingga membuka peluang pemulihan ekspor.
Meski dalam periode CVD 2020-2024,
ekspor biodiesel Indonesia ke UE tetap tumbuh 6,7 persen per tahun dengan nilai rata-rata USD319,7 juta. Komitmen UE melalui perjanjian IEU-CEPA juga dinilai menjadi peluang, karena memberikan akses pasar untuk minyak sawit dan turunannya sebagai sumber energi terbarukan.
(Ilustrasi kelapa sawit. Foto: Dokumen Ditjenbun Kementan)
Gencar diversifikasi pasar
Di sisi lain, terdapat tantangan yang harus dihadapi. Konsumsi biodiesel nasional diproyeksikan mencapai 15,6 juta kiloliter pada 2045, sehingga pemerintah perlu menyiapkan strategi alokasi yang optimal agar ekspor dan kebutuhan domestik tetap seimbang.
Diversifikasi pasar juga digencarkan dengan mendorong ekspansi ke negara lain untuk mengurangi risiko ketergantungan pada
UE, meskipun kawasan tersebut masih menjadi pasar utama.
Sebelumnya, ekspor biodiesel Indonesia sempat anjlok pada 2020-2021 akibat CVD dan pandemi, namun tetap menunjukkan ketahanan dengan pertumbuhan konsisten. Saat ini, UE tercatat sebagai tujuan ekspor terbesar ketiga untuk produk kelapa sawit Indonesia. (
Muhammad Adyatma Damardjati)