Ilustrasi. Foto: Medcom.id
Naufal Zuhdi • 5 April 2025 15:15
Jakarta: Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang juga Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyampaikan pasca-Lebaran tahun ini, buruh di Indonesia menerima kabar yang tidak menggembirakan.
Negara ini tengah menghadapi gelombang kedua Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dipicu oleh kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait kenaikan tarif barang masuk ke Negeri Paman Sam.
Sebelum Lebaran, tim KSPI dan Partai Buruh juga telah menemukan fakta di lapangan dimana sejumlah perusahaan berada dalam kondisi goyah dan sedang mencari format untuk menghindari PHK. Namun, dengan diberlakukannya kebijakan tarif impor dari AS mulai 9 April 2025, perusahaan-perusahaan tersebut diprediksi akan terjerembab lebih dalam.
"Ironisnya, hingga saat ini, belum ada langkah konkret dari pemerintah untuk mengantisipasi dampak kebijakan tarif AS tersebut. Tidak ada kepastian atau strategi nasional yang disiapkan untuk mencegah pengurangan produksi, penutupan perusahaan, atau PHK massal," ucap Said Iqbal, Sabtu, 5 April 2025.
KSPI dan Partai Buruh, lanjut dia, mencatat industri-industri yang paling rentan dihantam gelombang kedua PHK meliputi industri tekstil, garmen, sepatu, elektronik, makanan dan minuman yang berorientasi ekspor ke AS, serta industri minyak sawit, perkebunan karet, dan pertambangan.
Dalam kalkulasi sementara Litbang KSPI dan Partai Buruh, ia mengungkapkan akan ada tambahan 50 ribu buruh yang ter-PHK dalam tiga bulan pascadiberlakukannya tarif baru tersebut.
Kenaikan tarif sebesar 32 persen membuat barang produksi Indonesia menjadi lebih mahal di pasar AS dengan konsekuensi permintaan menurun, produksi dikurangi, dan perusahaan terpaksa melakukan efisiensi, termasuk PHK.
"Perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor tekstil, garmen, sepatu, elektronik, dan makanan-minuman umumnya adalah milik investor asing, bukan domestik. Karena itu, jika situasi ekonomi tidak menguntungkan, investor asing dengan mudah bisa memindahkan investasinya ke negara lain yang memiliki tarif lebih rendah dari Amerika," beber dia.
Namun, Said menduga tidak semua investor asing akan hengkang. Investor dari Taiwan, Korea, dan Hong Kong, yang selama ini mendominasi sektor tekstil di Indonesia, mungkin akan tetap memproduksi di Indonesia, tetapi dengan brand atau merk dari negara lain seperti Sri Lanka.
Baca juga: Industri Padat Karya Paling Terguncang Kebijakan Trump |